04 June 2016

KH Hasyim Asy’ari Gurunya Para Wali

Ini kisah dari Haji Suhaili Pasuruan beliau adalah murid dari Mbah Kyai Thoyib bin Abdus Salam dari Bugul Lor Pasuruan, beliau seorang kyai sepuh guru dari KH Abdullah Hunain dan KH Musthofa Lekok, bahkan KH Abdul Hamid Pasuruan pun  berguru dan bertabarukan kepada Mbah Kyai Thoyib.

Mbah Kyai Thoyib belajar di Makkah dua kali, yang pertama selama enam tahun, dan yang kedua beliau belajar di Makkah selama tujuh tahun, jadi total beliau belajar di Makkah selama tiga belas tahun. Pada waktu beliau akan pulang ke Indonesia malamnya harinya beliau bermimpi bertemu dengan Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Didalam mimpi tersebut Mbah Kyai Hasyim Asy’ari tiba-tiba jejek (menendang) dada Mbah Kyai Thoyib dengan kerasnya. Setelah kejadian mimpi tersebut dengan kuasa Allah SWT segala ilmu oleh Allah seakan akan  di tuangkan kepada beliau, dan beliau diberi kemudahan memahami dan menghafal banyak kitab.

Menurut almarhum KH Ishaq Lathif beliau dari almarhum KH Shobari bahwasanya Mbah Kyai Hasyim Asy’ari  beliau telah mengaji satu kitab yaitu kitab Fathul Qorib sebanyak 41 kali. Artinya berapa banyak  ulama yang telah di datangi Mbah Kyai Hasyim hanya untuk  belajar  satu kitab saja, mungkin 25 Ulama, 35 Ulama atau mungkin 41 ulama hanya untuk belajar satu kitab yaitu Fathul Qorib.

Sangat jarang sekali, apalagi di zaman ini orang yang mau menghatamkan suatu kitab sampai berkali-kali bahkan berpuluh-puluh kali dengan guru yang berbeda-beda pula. Padahal kita jika sudah hatam satu Kitab Pada Kyai A, B dan C, sudah hatam satu kitab tiga kali pada tiga orang ulama kita sudah merasa cukup dan selanjutnya hanya tinggal di mutholaah dan dihafalkan saja.

Hal tersebut  tidak berlaku bagi Mbah Kyai Hasyim Asy’ari, beliau tidak hanya mengejar ilmu tapi juga mengejar Barokah dari banyaknya guru-guru beliau tersebut. Semakin banyak belajar kepada ulama maka otomatis semakin banyak pula barokah yang Insya Allah di dapat.

Diceritakan konon bahwasanya KH Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebuireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fathul Qarib karena terkenang gurunya Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati KH Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.

Mbah Kyai Hasyim adalah pribadi yang tekun, semangat dalam belajar, kuat dalam riyadhoh (tirakat) untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat  mustajab, seperti Padang  Arafah, Gua Hira, Maqam Ibrahim,  juga termasuk ke makam Rasulullah SAW.

Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.Setiap berangkat menuju Goa Hira, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Jika hari Jumat tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jumat di sana.

Di ceritakan oleh  Agus M Zaki cucu Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, ketika selesai mengisi pengajian di Mojokerto, saya dapat kisah tentang kyai Hasyim Asy'ari. Setelah mengkhatamkan kitab Bukhari - Muslim dan menerima sanadnya, beliau dengan berbekal segenggam beras, menyepi digua Hira dan membaca kedua kitab itu selama 41 hari. Ternyata belum sampai 41 hari, beras sudah habis. Akhirnya beliau mencuil sedikit lembaran-lembaran kitab Bukhari Muslim yang dibacanya sebagai ganti beras yang telah habis.

Mbah kyai Hasyim Asy’ari ketika mondok beliau makan nasi aking (karak) lalu beliau bungkus pakai kain lalu di gantung di kamarnya. Setiap kali beliau mau masak beliau ambil lidi beliau tusuk bungkusan nasi aking tersebut , nasi aking yang keluar karena di tusuk itulah yang di masak  buat makan untuk hari itu. Seandainya tidak beruntung  nasi aking yang di tusuk tidak keluar berarti hari itu tidak makan.

Nabi Khidir AS, dikisahkan pula bahwanya suatu ketika ada seseorang di jalan yang sangat yang tubuhnya kotor dan di penuhi penyakit menjijikkan meminta gendong kyai Amin Imron, minta digendong ke gerbang pondok, tapi kyai Imron menolaknya karena merasa jijik. Akhirnya orang tersebut meminta tolong kyai Hasyim yang waktu itu kebetulan ada disitu. Tanpa merasa jijik kyai Hasyim menggendong orang tersebut sampai ke gerbang pondok. Sesampainya digerbang pondok orang itu turun dan sebelum pergi orang itu menyatakan bahwanya jika dirinya itu adalah Nabi Khidir. kejadiantersebut dibenarkan oleh Mbah Kyai Kholil, jika orang tersebut memang benar Nabi Khidir.

Nabi Khidir sendiri merupakan guru spritual dari para wali-waliNya Allah di muka bumi ini, biasanya orang-orang sholeh bertemu dengan Nabi Khidir mereka hanya bisa berjabat tangan. Tetapi yang terjadi dengan Kyai Hasyim, Nabi Khidir sendiri yang meminta untuk di gendong, ini merupakan suatu bentuk keistimewaan/penghormatan (suatu hal yang jarang terjadi) Nabiyullah Khidir minta di gendong. Tentunya karena adanya perhatian yang lebih dari Nabi Khidir kepada Kyai Hasyim dan juga merupakan salah satu cara Allah untuk memuliakan beliauKyai Hasyim.

Kejadian tersebut mengisyaratkan bahwanya jika Kyai Hasyim adalah seorang pilihan yang memiliki maqom (kedukan) yang tinggi baik secara keilmuan dan spritual. Kelak akan menggendong (menjadi bapak) pemuka (muqoddam) bagi umat Islam  di Indonesia. Dan itu pun terbukti dengan beliau mendirikan organisasi Nahdlotul Ulama (NU) pada tahun 1926 M yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan terbesar di dunia.

Beliau pun satu-satunya ulama yang mendapatkan gelar dari para ulama sebagai  Raisul Akbar (Pimpinan terbesar)Nahdlotul Ulama (NU), setelah beliau tidak tidak yang memakai gelar tersebut. Bahkan dalam fakta sejarah tahun 1942 dari pemerintahan Jepang waktu di Indonesia, disitu tertuliskan bahwasanya ada kurang lebih 25.000 (dua puluh lima ribu) ulama atau kyai seluruh Indonesia bahkan ada yang dari luar negri pernah berguru kepada KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Oleh sebab itu para ulama juga menggelari beliau dengan gelar Hadratus Syaikh (Maha Guru yang Mulia).


Mbah Kyai Kholil Bangkalan gurunya, yang dianggap sebagai pemimpin spiritual (Qutub) para kyai di tanah Jawa sangat menghormati Kyai Hasyim. Dan setelah Kiyai Kholil wafat, banyak para ulama yang mengatakan KH. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual (Qutub).

Maka tidaklah heran jika banyak diantara santri-santri yang telah belajar bertahun-tahun kepada Mbah Kyai Kholil bahkan santri-santri tersebut banyak diantaranya merupakan teman dari bah Hasyim tidak jarang usianya lebih tua dari beliau, setelah mereka belajar dari Mbah Kholil Bangkalan banyak yang melanjutkan di makkah selama bertahun-tahun.

Setelah mereka pulang ke Indonesia mereka masih menyempatkan diri untuk belajar lagi kepada Mbah Kyai Hasyim Asy’ari. Hal tersebut juga di lakukan oleh ulama dan kyai – kyai lainya setelah lama belajar di Makkah, mereka pulang ke Indonesia mereka masih belajar lagi kepada Mbah Kyai Hasyim Asy’ari.

KH  Zubair Umar al Jailani  Salatiga Jawa Tengah beliau adalah salah satu murid dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, setelah belajar kepada Mbah Kyai Hasyim Asyari Kyai Zubair melanjutkan  pengembaraan ilmunya ke Makkah. Mbah Kyai Hasyim berpesan kepada Kyai Zubair untuk mendalami hadits setibanya di Makkah tetapi beliau lebih tertarik untuk  memperdalam Ilmu Falak yang telah beliau dapatkan dari Mbah Kyai Hasyim.

Keinginannya Kyai Zubair untuk mendapatkan guru Ilmu Falak seperti  Mbah Kyai Hasyim Asyari Tebuireng di Makkah al-Mukarramah kandas. Karena saat test berlangsung, di ketahui bahwa Ilmu beliau dalam hal falak telah jauh diatas guru yang ada di Makkah sehingga yang terjadi guru tersebut justru yang belajar kepada Kyai Zubair

Kemudian beliau meninggalkan Makkah dan menuju ke Madinah untuk menemui ahli falak disana. Namun saat di Madinah, beliau juga tidak mendapatkan guru yang diharapkan seperti  Mbah Kyai Hasyim Asyari masih belum ketemu. Kemudian beliau di sarankan untuk pergi ke Syiria (Damaskus). Sesampainya di Syiria, hasilnya tetap sama. Hingga ahirnya beliau melanjutkan perjalanan ke Palestina. Dan harapan beliau untuk bertemu ahli falak disana juga masih belum terpenuhi.

Baru kemudian beliau disarankan untuk menemui seorang guru di Al-Azhar waktu itu rektornya dipegang oleh Syekh Musthafa al-Maraghi. Disinilah beliau bertemu  dengan ulama yang beliau harapkan yaitu Syeikh Umar Hamdan al-Mahrasi (w.1949) dengan kitab kajian al-Matla’ al-Sa’id karya Husain Zaid al-Misri dan al-Manahij al-Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy. Data astronomis yang digunakan kitab al-Khulasah al-Wafiyah sama dengan data yang ada pada kitab al-Matla’ al-Sa’id, tetapi menggunakan epoch (mabda’) Mekkah, karena kitab tersebut dikonsep ketika KH. Zubair bermukim di Makkah.

Menurut catatan sejarah bahwasanya Syeikh Umar Hamdan al-Mahrasi merupakan salah satu murid dari Mbah Kyai Hasyim Asy’ari, karena Mbah Kyai Hasyim Asy’ari sendiri  juga pernah mengajar di masjidil harom.

Al-Habib Sayyid Muhammad Asad Syihab seorang jurnalis asing dari Timur Tengah yang masih termasuk kakek buyut Prof. Dr. Muhammad Quraisy Shihab, penulis biografi yang luar biasa. Di tangan beliau pulalah lahir sebuah buku sangat monumental berjudul : “Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesi” (Maha guru Muhammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia). Sebuah buku berbahasa Arab yang di terbitkan di luar negri oleh Percetakan Beirut Libanon.

Hadratus Syaikh termasuk idola saya, bagi saya Hadratus Syaikh memang lain beliau betul-betul Maha Kyai (Al-allamah). Menurut Sayyid Muhammad Asad Syihab "selama ini saya lebih mengenal Hadratus Syaikh lewat tulisan-tulisan beliau sendiri, dari kisah penuturan para Kyai yang menangi (sezaman) yang bertemu dan mengenal beliau.

Risalah kecil Sayyid Muhammad Asad Syihab ini bagi saya sendiri mungkin meneguhkan atau melengkapi gamabaran tentang Hadratus Syaikh : seorang Maha Kyai dalam arti yang sebenar-benarnya sekaligus pejuang bangsa. Beliau tidak hanya memiliki kedalaman ilmu dan tanggung jawab pengamalan serta penyebaranya namun juga keluasan wawasan dan pandangan yang hampir tidak di miliki oleh sembarang Kyai.

Para Kyai dan ulama di Indonesia sangatlah wajar jika menghormati beliau sebagai Raisul akbar (pemimpin agung/tertinggi) mereka satu-satunya. Hampir semua Kyai dari kalangan ahlus sunnah waljamaah terutama dari kalangan jami’iyah Nahdlotul Ulama kesawaban ilmu dan ajaranya. Maka jika orang mengitlakkan menyebutkan "Hadratus Syikh" tiada lain yang di maksud beliau.

Dalam proses penulisan risalah tersebut Sayyid Muhammad Asad Syihab memerlukan  tinggal beberapa lama di pesantren Tebuireng dan mengadakan beberapa kali wawancara baik dengan Hadratus Syaikh sendiri dan maupun dengan lainya. (Oleh KH Mustofa Bisri Rembang Jawa Tengah)

KH Maimun Zubair bercerita : Jika kita telusuri sejarahnya, diantara pondok pesantren di Indonesia ini ada saling kait-mengait. Dari situ kita bisa mengetahui bahwa  Allah swt  itu ternyata mempunyai   mahluq “ZAMAN”. Jadi yang dimaksud dari maqolah “Al insan Abnau Zaman”  adalah, Allah swt itu menciptakan “ZAMAN” bagi orang yang baik-baik. Dan kebaikan “ZAMAN” ini harus diketahui oleh kita.

Pada zaman Mbah Hasyim Asy’ari, orang gak bakalan bisa menjadi kyai besar  tanpa adanya Mbah Hasyim Asy’ari.  Satu contoh di daerah Lasem, disana itu Kyainya besar-besar, ada :
1. Mbah Kyai Masduki
2. Mbah Kyai Kholil Harun
3. Mbah Kyai Ma’shum
4. Mbah Kyai Baidhowi malah paling alim.
Dari empat Kyai itu yang paling erat hubungannya dengan Kyai Hasyim Asy’ari adalah MbahKyai Ma’shum. Maka tidak heran jika beliau santrinya paling banyak. Tidak ada dalam sejarahnya, pondok pesantren yang diasuh Mbah Kyai Baidhowi Lasem itu santrinya banyak, paling pool hanya خمسين (50), dikarenakan hal itu memang  sudah wayahe (waktunya), itu menurut saya,  jelas Syikhul Islam Nusntara ini lebih lanjut.

Jadi waktu itu yang menjadi “ابناءالزمان“ nya adalah Mbah Kyai Hasyim Asy’ari. Pondok yang ada di Sarang  juga begitu, seumpama Mbah saya (KH Ahmad bin Syuaib) tidak ngaji ke Mbah Hasyim Asy’ari, yah habis pondok Sarang. Begitu juga pondok Lirboyo, jika Mbah Kyai Manaf  tidak mondok ke Tebuireng  yah habis santrinya. Pengasuh pondok Ploso (KH Jazuli Usman), pondok Rejoso Peterongan, pondok Buntet  Cirebon juga mengaji pada Mbah Kyai Hasyim Asy’ari. Lha sekarang Abna’ az-Zaman itu berada dimana??  Wallohu A’lam,  saya sendiri tidak tahu, kata Syaikhul Islam menutup ceritanya.

Boleh jadi memang, pada zaman Hadhrotus Syaikh Hasyim Asy’ari ada Ulama ataupun Kyai yang lebih alim atupun lebih besar dan banyak keramatnya dibanding Hadhrotus Syaikh, akan tetapi hampir semua mata dan telinga Masyarakat maupun segenap para Ulama pada masa itu selalu tertuju pada dawuh, sikap, kebijakan, dan apa saja  yang dilakukan Hadhrotus Syaikh, karena beliaulah “SANG ANAK EMAS ZAMAN” dimasanya. Wallohu A’lam. (Sumber : Buku Pesantren Lirboyo Kediri)

Wallohu A’lam Bi Shawab

By Istana99kupu.blogspot.com

Catatan : (Kisah Kyai Hasyim dan Nabi Khidir ini penulis dapatkan langsung dari Haji Qohar Rambipuji-Jember, beliau sendiri mendengarkan langsung langsung dari gurunya Almarhum KH. Ali Wafa/KH. Abdul Aziz (Pendiri Pesantren Al Wafa) Tempurejo Jember.  Menurut KH. Ali Wafa/KH. Abdul Aziz  cerita tersebut pernah di ceritakan  oleh Mbah Kyai Kholil kepada santri-santrinya di Bangkalan dan Mbah Kyai Kholil juga membenarkan Kisah tersebut. (KH. Ali Wafa sendiri merupakan teman dari KH. Hasyim Asy’ari yang sama-sama santri dari Mbah Kyai Kholil Bangkalan).

No comments:

Post a Comment