10 June 2018

Kekeramatan Makam Tebuireng

Salah satu satu keunikan makam di Tebuireng ketika Negara kita tercinta Indonesia memiliki hajat besar pesta rakyat alias Pemilu (pemilihan Umum), siapapun calon Presidenya hukumnya wajib alias Fardlu Ain untuk Ziarah keTebuireng.

Siapapun calonya tidak memandang apa itu dari kalangan NU, Muhammadiyyah, LDII, HTI, ataupun Wahabi yang yang notabenya mengsyirikkan mengharomkan sekalipun, ahli kepercayaan, bahkan sampai lintas agama.

Bukan hanya calon Presiden saja yang berziarah ke Tebuireng, tapi juga seseorang ketika mengajukan diri untuk maju menjadi Calon Gubernur, calon Bupati bahkan calon Kepala Desa di suatu dareah di Indonesia, merekapun menyempatkan diri untuk ziarah ke Tebuireng.
Bahkan menurut salah satu cerita Presiden Ir. Soekarno sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia ini pernah melakukan Riyadhoh alias tirakat selama 41 hari di makam tebuireng. Karena menurut salah satu kisah sebelum berdirinya pesantren Tebuireng tahun 1899, didalam pesantren Tebuireng sudah ada makam keramat makam seseorang Waliyyullah yang bernama Syaikh Maulana Ishaq Attabarqi.

Kenapa mereka memilih lebih memilih untuk ziarah ke Tebuireng, tidak ziarah ke makam Wali Songo padahal para Wali Songo telah mashur dengan kekeramatanya dan juga merupakan leluhur dari pendiri Tebuireng “Fahrul Wujud, Roisul Akbar, Al Allamah Tuan Guru, Paduka Mulya, Syaikhul A’dhom, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari”. Begitulah para ulama memberikan gelar pada beliau saat beliau masih hidup hingga saat ini.

Ada suatu Kisah menurut KH Abdul Qoyyum Mansur Lasem Rembang pada waktu beliau berceramah di acara Khoul KH Abdul Hamid Pasuruan ke 36 Tahun 2017, Bahwasanya KH Hamid memberikan suatu ijazah Shalawat kepada sahabatnya yang juga seorang Kyai .

Ijazah Shalawat tersebut redaksi bacaanya susunanya tidak bisa di mengerti artinya, shalawat tersebut "ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU". Dan ketika sahabat KH Abdul Hamid ini berada di Pondok Tebuireng, malam harinya dia bermimpi bertemu dengan seseorang dan diberi redaksi bacaan shalawat yang sama dengan Kyai Hamid.

Maka tidak ada salahnya jika seseorang berziarah ke Tebuireng atau ke makom KH Hamid Pasuruan juga membaca shalawat ini : ""ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU" minimal 100 atau 315, atau 1000 kali, terserah semampunya.

Maka disinilah salah satu letak keunikan yang telah Allah ta’ala anugrahkan untuk makam yang ada di Tebuireng. Tanpa memandang motif dan tujuan kenapa mereka harus berziarah ke Tebuireng. Berikut salah satu kisah tentang mistesme misteri makam di tebuireng :

Menyimak Cerita Mistik Gus Dur Tentang Tebuireng
Oleh : Fathurrahman Karyadi

Ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang, kami diajar oleh seorang kiai sepuh, almarhum KH Zubaidi Muslih. Kala itu, beliau mengampu pelajaran Ilmu Tauhid kitab Kifayatul ‘Awwam. Di samping keluasan ilmunya, kami kagum mendengar kisah-kisah beliau tentang sejarah, sastra, mistik, maupun pengalaman pribadi beliau.

Salah satu yang saya ingat, kiai asal Banyuwangi ini pernah bercerita bahwa jauh sebelum Pesantren Tebuireng didirikan (1899) ada seorang waliyullah (kekasih Allah) yang datang. Tidak diketahui berasal dari mana dan entah mau ke mana. Wali itu berhenti di tepian sungai—kini depan pesantren.

Lalu ia diam mengamati seraya bertutur dengan kasyaf-nya, “Kelak, di tempat ini akan datang seorang yang alim, ilmunya menyinari negeri.”Orang tua berjubah itu berlalu, membuat masyarakat dan warga sekitar keheranan. Ternyata predisksi beliau itu tidak meleset. ‘Orang alim’ yang dimaksud tak lain ialah Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, beserta keturunan, dan para santrinya di kemudian hari.

Di kesempatan lain, saya menemukan riwayat lain di sebuah buku sejarah alumni, entah kejadian yang dimaksud sama atau memang berbeda.

Alkisah, ada seorang kakek tua yang berdiam diri di sebuah pohon. Ia menjadikan pohon itu sebagai tempat berteduhnya sehari-hari. Warga sekitar pun kasihan, mereka hendak mengajak kakek itu ke rumah agar bisa tinggal bersama.

Namun kakek itu menolak dengan halus. Ia berpesan jika dirinya wafat maka ingin dimakamkan di bawah pohon itu. ”Sebab, tempat ini akan menjadi pusat keilmuan, didatangi banyak orang dari berbagai penjuru negeri, dan makam ini tidak akan pernah sepi dari para peziarah.” Lalu kakek itu wafat dan dimakamkan di tempat yang dimaksud, kini masih satu area dengan kompleks pemakaman Pesantren Tebuireng.

Saya mengira kisah mistik tentang Tebuireng akan berhenti di situ saja, nyatanya tidak. Saya menemukan potongan kisah itu di Ciputat. Ketika membaca buku hasil disertasi Dr Alwi Shihab,  di sana terdapat kata pengantar dari almarhum KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur menyebut sebuah nama yang bisa jadi itulah nama kakek tua di cerita atas.

Gus Dur mengatakan, pada 1941 mendiang mantan Presiden Soekarno berdiam selama emat puluh satu hari di Pesantren Tebuireng, untuk berkhalwat di kuburan nenek moyang beliau yaitu Maulana Ishaq al-Tabarqi.

Beliau inilah yang kemudian diabadikan peranannya karena asalnya, Al-Tabarqi, merupakan daerah halilintar. Oleh karena itu, didapatlah gambaran pendiri Kerajaan Demak di Masjid Agung Demak dalam sebuah ukuran kayu dengan tanda halilintar itu diukirkan pada sebuah punggung kura-kura.

Dengan demikian, tambah Gus Dur, jelas bahwa kura-kura sebagai lambang umur panjang atau ban shuihanya digunakan oleh raja-raja dalam legenda Cina, sedangkan halilintar adalah “merk” khusus Maulana Ishaq. Oleh karena itu, ketika Bung Karno sebagai keturunan Maulana Ishaq berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia dengan membuat tugu proklamasi di Pegangsaan, di atas tugu itu dia letakkan sebuah gambar halilintar, sama dengan yang ada di Masjid Demak.

Dengan kata lain, Maulana Ishaq, melalui keturunannya Sukarno, juga adalah salah seorang arsitek Negara Republik Indonesia. Dari sini jelaslah bahwa Sukarno sebagai tokoh politis karena mendirikan kerajaan, adalah juga keturunan salah seorang tokoh politik lain, Maulana Ishaq, sehingga tidak mengherankan apabila beberapa abad berikutnya para Wali Songo juga merupakan tokoh-tokoh politik.

Hal ini tampak karena menurut cara-cara tahallul dapat diketahui bahwa para Wali Songo sebenarnya dinamai Wali Songo dan bukan dinamai syaikh atau syuyukh atau mursyid dari tarekat karena beliau-beliau adalah tokoh pemerintahan, yang juga adalah tokoh-tokoh politik.

Entah bagaimana Gus Dur mampu mengetahui cerita mistik tersebut, bahkan sampai detail nama, keturunan, sejarah, hingga prediksi ke depan. Di samping perlu ditelusuri lebih dalam tentang riwayat hidup Maulana Ishaq al-Tabarqi, kita patut meyakini bahwa orang-orang yang hatinya bersih selalu diberi banyak kelebihan oleh Allah SWT, seperti di antaranya mengetahui hal-hal gaib. 


Wa Allahu ‘alaam bi Shawaab