Showing posts with label Habib Lutfi Bin Yahya. Show all posts
Showing posts with label Habib Lutfi Bin Yahya. Show all posts

27 August 2014

Lima Nasehat Habib Lutfi Bin Yahya

Al-Walid al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Ba’Alawy Pekalongan, ulama yang diteladani semua umat muslim. ada banyak petuah dan nasehat dari beliau yang bisa kita ambil hikmahnya. Beliau Ketua Jam'iyyah Ahlut Tariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMN), organisasi di bawah NU yang mengkoordinasi jemaah tarekat Mu'tabarah.

Seorang muslim agar mendapatkan keselamatan Insya Allah, di dalam agama, dunia dan akhirat haruslah memegang teguh lima prinsip ini.

1. Pegang teguh teladan salaf shalihin
Baik itu thariqah-nya, akhlaknya, amal salehnya. Pegang teguh dan kuat mantap, walaupun kamu sampai sulit dan kere (sangat miskin) tetaplah teguh memegang teladan Salaf Shalihin. Gigit kuat dengan gerahammu, jangan dilepas jika kamu ingin selamat dan mendapat ridho-Nya.

2. Jadikanlah keimanan sebagai Imam
Bukan akal yang menjadi ujung tombaknya. Hati-hati di akhir jaman ini, akan dan sudah banyak muncul paham dan orang-orang yang lebih mengedepankan akal-rasio-logika dibandingkan imannya. Seharusnya Iman menjadi imamnya, akal & logika menjadi makmumnya, mengikuti iman.


Tinggalkan pendapat orang-orang yang mengedapankan akalnya dibanding imannya. Percuma dan sia-sia waktumu jika menanggapi orang-orang yang demikian, kamu akan rugi dunia akhirat. Karena bagaimana mungkin akal manusia bisa menerima seluruh kebesaran khazanah kerajaan Allah SWT, hanya keimanan yang dapat menerima kebesaran Allah SWT.

3. Berkunjung kepada orang-orang shalihin
Baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup, dan kuatkan tali ikatan silaturahim. Berziarah (mengunjungi) kaum shalihin jangan hanya ketika ada maunya, kalau ada perlunya saja. Hal itu baik tidak terlarang, tetapi kurang kemanfaatannya untuk jangka panjang. Hanya untuk kebutuhan-manfaat sesaat belaka, sungguh sangat disayangkan. Tetapi alangkah baiknya kita berziarah sholihin itu karena mahabbah ilaa mahbub, kecintaan kepada yang dicintai. Kalau hal ini dijalin dengan baik maka ia akan mendapat limpahan madad (pertolongan), sirr asrar (rahasia) dan jaah (essence, intisari) dari ziarahnya. Dan sering silaturahmi itu menimbulkan kecintaan dan keridhoan Allah SWT kepada orang yang menjalin hubungan silaturahmi, sehingga rahmat dan berkah serta maghfirah Allah SWT terlimpah kepadanya. Jauh dari bala’, musibah, penyakit dan diberi kelancaran rezeki. Insya Allah.

4. Jangan suka membeda-bedakan
Ini penyakit yang timbul dan tumbuh di akhir jaman ini. Jangan beda-bedakan itu suku apa, kabilah apa, bangsa apa, partainya apa, thariqah-nya apa, madzhab-nya apa dan sebagainya. Itu urusan Allah SWT, kita ini manusia, hamba-Nya, makhluk ciptaan-Nya, jangan suka usil ikut campur urusannya Allah SWT.

Makanya sekarang berbagai macam bala’, musibah bertubi-tubi datang. Karena ulah manusia itu sendiri. Yang suka sok tahu, sok jago, sok suci, sok pintar bukan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, malah ikut campur urusan Allah SWT.

Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana lagi Maha Berkehendak, Allah SWT yang akan menghukumi, menentukan secara mutlak kelak di pengadilan Ilahi Yang Maha Adil bagi seluruh makhluk-Nya. Segala sesuatu misal pengadilan itu semua adalah bentuk ikhtiar manusia belaka di muka bumi ini secara syariat. Ketentuan yang mutlak benar dan salah adalah di tangan Allah SWT di hari kemudian. Keyakinan dan keimanan ini harus ditanam kuat dan kokoh dilubuk sanubari keimanan kita.

5. Senantiasa membaca Al-Qur’an, bershalawat kepada Nabi, taat kepada guru/syaikh/mursyid dan birul walidain (berbakti kepada orangtua).
Jadikan hal ini semua awrad (wirid) mu. Jangan tinggalkan hal tersebut. Membaca Al-Qur’an walau satu ayat setiap harinya. Memperbanyak membaca shalawat kepada Baginda Nabi SAW jadikan hal ini semua awrad (wirid yang dilakukan istiqomah) bagi diri kita demi menggapai kebahagian dan keselamatan di dalam agama, dunia dan akhirat.


Menurut Habib Lutfi, cukup sudah lima hal ini kamu pegang erat-erat, Insya Allah, Taufik Hidayah dan Inayah Allah SWT melimpah dan turun kepadamu.



Sunting dan edit by Istana kupu-kupu

24 August 2014

Doa Ampuh penolak jin dan santet





سُبْحَانَ مَنْ أَلْجَمَ كُلَّ جَبَّارٍ بِقُدْرَتِهِ، وَأَحَاطَ عِلْمُهُ بِمَا فِيْ بَرِّهِ وَبَحْرِهِ، وَتَحَصَّنْتُ بِأَسْمَائِهِ الَّتِيْ أَقْفَالُهَا اَلْعَظَمَةُ للهِ، وَمِفْتَاحُهَا لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ، اَلَلَّهُمَّ بِنُوْرِ وَجْهِكَ اِحْفَظْنِيْ وَاَهْلِيْ وَذُرِّيَتِي وَبَيْتِيْ مِنْ اَشْرَارِ خَلْقِكَ، وَاحْفَظْنِيْ وَاَهْلِيْ وَذُرِّيَتِي وَبَيْتِيْ يَامَنْ سَتْرُهُ الْجَمِيْلُ، يَاوَاحِدًا قَبْلَ كُلِّ أَحَدٍ، يَاوَاحِدًا بَعْد َكُلِّ أَحَدٍ، لَاتَكِلْنِيْ لِأَحَدٍ بِحَقِّ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، أِيْ وَاللهِ أَحَدٌ، أِيْ وَاللهِ ٣x، اَللهُ الصَّمَدُ، أِيْ وَاللهِ ٣x، لَمْ يَلِدْ، لَاوَاللهِ ٣x، وَلَمْ يُوْلَدْ، لَاوَاللهِ ٣x، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، لَاوَاللهِ ٣x، اَلَلَّهُمَّ بِحَقِّ هَذِهِ السُّوْرَةِ الْعَجِيْبَةِ الشَّرِيْفَةِ، اَسْأَلُكَ اَنْ تَحْجُبَنِيْ وَاَهْلِيْ وَذُرِّيَتِي وَبَيْتِيْ مِنْ كُلِّ شَرٍّ يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَمِنْ كُلِّ شَرٍّ يَخْرُجُ مِنَ الْأَرْضِ، وَمِنْ كُلِّ شَرٍّ مَا تَلِدُهُ النِّسَاءِ، بِمِائَةِ اَلْفِ اَلْفِ اَلْفِ لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ، حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ اْلوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلىٰ وَنِعْمَ النَّصِيْرُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِـهِ وَصَحْبِهِ وَسَــلَّمَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ۞ 

Syarat Untuk Belajar Tarekat (Thoriqoh)


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya seorang pemuda berumur 27 tahun, belum menikah, ingin belajar tarekat, tetapi tidak diperbolehkan oleh bapak saya. Katanya, saya baru boleh belajar tarekat setelah berumur 40 tahun. Benarkah hanya orang-orang yang sudah berumur 40 tahun atau lebih yang boleh mempelajari tarekat? Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Amiruddin

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Jawaban saya untuk Sdr. Amiruddin, untuk sementara patuhilah nasihat orang tua. Karena umur Anda masih muda, lebih baik memperkaya ilmu, entah itu melalui jalur sekolah, madrasah, maupun pesantren. Kesempatan yang baik itu saya namakan peluang emas. Jangan disia-siakan. Adapun bahwa mengikuti tarekat harus setelah umur 40 tahun, perlu saya luruskan.

Tarekat itu untuk orang-orang yang sudah cukup ilmunya. Terutama : sudah mengetahui yang sudah diwajibkan syariat Allah, seperti mengetahui mana yang wajib, mustahil, ja'iz (mungkin) bagi Allah. Maksudnya, dia telah mengerti 20 sifat Allah. Kedua : dia telah mengetahui hukum-hukum ibadah, seperti rukun wudhu, rukun iman, yang membatalkan wudhu, rukun shalat, yang membatalkan shalat, dan bisa membedakan mana yang halal dan haram. 


Bilamana itu sudah tercukupi, dipersilakan menambah amalan-amalan atau ibadah dalam tarekat, karena tarekat tidak mengatur yang zahir belaka. Tarekat juga mengatur hati supaya bersih dari sifat-sifat yang tidak dibenarkan oleh Allah dan RasulNya. Hal demikian itu, perlu kita rintis dari sedini mungkin. Ya, kita belajar untuk membersihkan lahiriah maupun hatiniah.

Tapi, nasihat ayah Anda bahwa mengikuti tarekat menunggu setelah umur 40 tahun, itu pun tidak salah. Karena dia mengambil kebijaksanaan seorang bapak yang sayang kepada anaknya, supaya anaknya mempersiapkan diri lebih matang. Tuntunan seseorang ayah kepada anaknya merupakan tanggung jawab, dengan harapan bahwa anaknya akan semakin dewasa. Karena, si anak akan menghadapi berbagai tantangan yang nanti hasilnya akan menjadi bekal hidupnya. Sebagai seorang ayah, ia berharap kepada anaknya untuk bisa mendapatkan pekerjaan, misalnya. Pertama-tama, untuk diri Anda sendiri. Yang kedua, tentu Anda harus bisa memperingankan beban kepada kedua orang tua Anda dalam menyongsong masa tua mereka.  Ketiga, tidak selamanya nanti Anda sendirian. Paling tidak, sebagaimana manusia yang normal, ingin mendapatkan pasangan untuk teman hidup di dunia sampai akhirat. Apakah Anda sudah mempersiapkan itu semua? Dari situlah orang tua yang bijak lebih jauh pandangannya dalam memberikan nasihat.

Sumber: Majalah Al Kisah

Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/

Ilmu Khodam Tidak Ada Hubungnaya Dengan Tarekat


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Selama ini saya tertarik dengan pelajaran ilmu tarekat, tetapi selama ini pula saya bingung untuk menemukan seorang mursyid dalam hal tersebut. Saya ingin befajar Tarekat Syamaniyah, tetapi mursyid yang saya kenal seiama ini sudah kembali ke hadirat Allah SWT. Yakni, almarhum K.H. Abdul Gani Zaini, Martapura, Kalimantan Selatan, disebut juga Guru ijai atau Guru SekumpuL Walaupun saya ikut pengajian beliau, saya belum berbai'at, sedang beliau sudah wafat. Dan selama ini saya belum tahu siapa yang menggantikan beliau. Saya ingin bertanya. Amalanamalan dan syaratsyarat apa saja untuk menjadi seorang murid tarekat? Apakah belajar ilmu kha-dam tidak bertentangan de¬ngan sunnah Rasulullah SAW? Apakah ilmu kha¬dam bisa dikategorikan dalam ilmu taisawuf? Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Rahmadiansyah.
Jawaban :

Waalaikumussalam Wr. Wb.
Adik Rahmadiansyah, terima kasih atas pertanyaan Anda. Ilmu tarekat sangat luas. Jenis tarekatpun banyak sekati. Dari mulai Qadiriyah, Naksyabandiyah, Khalidiyah, Sahuwardiyah, Satariyah, Syadziliyah, Aiawiyah, Tijaniyah, dan IainIain. Itulah tarekat-tarekat yang terkenal dan mashur atau di sini dikenal dengan tarekat muktabarah. Karena itu, peljarliah dahulu sejauh mana ilmu tarekat, sehingga kita masuk suatu tarekat bukan sekadar karena iming-iming fadhilahnya. Namun yang pertama, yang paling penting adalah cara bagaimana mendekatkan diri kepada Allah. Yang kedua, bagaimana kita selalu dekat di sisi Allah SWT dan di sisi Baginda Nabi Muhammad SAW.

Silakan saja Anda ingin memilihTarekat Qadiriyah, Naksyabandiyah, Syadziliyah, Alawiyah, atau Tijaniyah. Yang jelas tarekat-tarekat tersebut punya mushalsal sampai kepada Rasulullah SAW. Dan tarekat itu hakikatnya bukan ilmu kesaktian. Ilmu tarekat dipelajari bukan untuk mencari kekayaan. Kita mempelajari ilmu tarekat bukan untuk menjadi seorang wali atau mendapatkan karamah. Lebih lebih mempelajari ilmu tarekat sekadar untuk memperoleh khadam.

Guru guru tarekat, bila mendapatkan karamah, justru merasa malu kepada Allah SWT. Dia mawas diri, apakah pantas kalau kita menerima karamah dari Allah SWT? Karena itulah para guru tarekat justru takut mendapatkan karamah, sebab hal itu justru meru pakan salah bentuk ujian kepadanya. Selanjutnya, cobaan berikutnya, bila termasyhur karena sebab karamahnya, dia akan sangat malu kepada Allah SWT. Karena kemasyhuran tarekat bukan menjadi tujuannya, kadang justru menjadi beban dan fitnah baginya. Makna fitnah ini bukan dari luar, sepertiorang memfrtnah dirinya. Namun yang ditakutkan justru fitnah yang datang dari dalam dirinya sendiri. Karena, dengan munculnya kemasyhuran namanya, akan timbul sifat egoisme, keakuan, atau annaniyah, selanjutnya mendorong dirinya bersifat sombong dan congkak, serta sifat yang kurang terpuji lainnya. Itulah sikap para auliya, yang bila mendapatkan karamah justru sangat khawatir bila menimpa dirinya sendiri, bukan malah berbangga bangga diri, atau mencari-cari.

Pada hakikatnya ilmu tarekat adalah pengamalan dari bentuk ihsan. Mampukah kita ketika bersujud kepada Allah seolah-olah kita melihatNya. Namun sulit hal demikian ini dilaksanakan bagi awam. Kalau tauhidnya tidak kuat, katakata "seolah-olah melihatNya" nanti bisa menimbulkan efek mengada-ada, Inilah yang sangat dikhawatirkan para guru tarekat terhadap murid-murid yang baru belajar ilmu tarekat. 

Kalau kita tidak mampu merasa seolah-olah melihatNya, kita merasa dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa. Ini dulu, mampukah kita setiap hari mengamalkan sesuatu yang seolah-olah kita merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Bila sikap ini tumbuh di setiap hati masing-masing pengamal tarekat, insya Allah akan melahirkan sifat-sifat yang terpuji. Oleh sebab itu :

1. Menumbuh sifat takut (khauf) kita kepada Allah, yang tujuannya akan menambah ketaqwaan kita kepada Allah. Kita akan mawas hati, muhasabbah, kita takut bila kita digolongkan sebagai orang yang merugi.

2. Menumbuhkan sifat raja', mengharap semata-mata kepada Allah, karena khauf tersebut

3. Menumbuhkan kecintaan kepada Allah, dan kebenaran akan dipegang kuat Dalam arti benar hatinya, benar matanya, benar telinganya, benar tutur katanya, serta benar perilakunya.

4. Menumbuhkan, di antaranya, alhaya' (malu) kepada Allah. Dan karena cinta kepada Allah dan Rasulullah, kita akan malu kepada Allah dan RasulNya kalau berbuat yang bertentangan dengan perintahNya. Bagaimana kita tidak malu? Kita sudah mendapatkan keutamaan dari Yang Mahakuasa berupa nikmat keutamaan beriman dan berislam, dan melalui Baginda Nabi Muhammad SAW, bahwa kenikmatan iman dan islam merupakan kenikmatan yarig luar biasa dari Allah SWT. Maka, apabila keutamaan yang datang dari Allah malah kita pergunakan untuk hal yang tidak semestinya, akan tumbuh rasa malu kepada Allah dan RasulNya

Sumber: Majalah Alkisah
Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/

Ilmu Kejawen vs Ilmu Tarekat


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Di Indonesia banyak sekali aliran yang bercorak kebatinan. Di antaranya tarekat dan aliran kebatinan Kejawen. Keduanya memang memiliki kesamaan, tapi di sisi lain juga berseberangan dalam banyak hal. Aliran Kejawen mengajarkan, salah satunya, tapa pendhem. Pelakunya ditanam layaknya orang meninggal. Mereka yang berhasil, konon bisa menjadi sakti, mengetahui peristiwa di tempat yang jauh, bisa menebak isi hati orang, dan Iain-Iain. Sebaliknya, aliran tarekat tidak mengajarkan kesaktian. Tarekat mengarahkan pengikutnya agar hatinya bersih, sabar, dan mencari kerelaan Tuhan semata. Jadi, meng¬ajarkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar, sehingga orang itu menjadi beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt.Pertanyaan saya, pertama, seandainya ke-dua aliran tersebut dipersandingkan, apakah Kejawen yang lebih unggul daripada tarekat, atau sebaliknya? Kedua, seandainya ada pengikut aliran ta¬rekat minta agar bisa sakti, bagaimana solusi-nya? Apakah harus bergabung dengan aliran Kejawen? Apakah Kejawen itu bisa dianggap ilmu hitam? Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jawaban :

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Bagi pengikut tarekat, karamah (yang bagi orang lain bisa saja dianggap kesaktian - Red.) bukanlah tujuan. Karamah itu, bagi para kekasih Allah, tanpa diminta pun, Allah Taala akan memberinya. Itu bukan merupakan kebanggaan. Sekali lagi, itu bukan tuju¬an bagi para waliyullah. Kalau mereka diberi kelebihan yang luar biasa sebagainana di-anugerahkan kepada Syaikh Abdul Oadir Jailani, misalnya, itu semata-mata karena kekuasaan Allah. Bahkan mereka sebenarnya malu kepada Allah SWT apabila diberi kelebihan yang luar biasa.

Kalau seseorang sudah dekat dan semakin dekat dengan Allah SWT, mungkin-kah ada ilmu yang bisa mengalahkan orang yang dekat kepada Sang Pencipta? Kami tidak bermak-sud mengatakan bahwa ilmu yang dipelajari dan di-amalkan dalam aliran Kejawen itu lebih rendah, tidak sama sekali. Tapi, sekali lagi, apakah orang yang sudah dekat benar kepada Allah SWT bisa dikalahkan?

Namun, ingat, orang yang tidak mempan ditembak atau dibacok itu belum tentu orang yang selalu melakukan pendekatan kepada Allah. Sebab, itu terkadang bisa menimbulkan kesombongan dan berakibat menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Terkecuali orang-orang yang makrifatnya tinggi. Dia akan lebih memahami makna dan rahasia kebesaran ayat-ayat Allah. Jadi semua itu tergantung pada manusianya.

Tidak semua ilmu Kejawen itu beraliran hitam. Perlu diketahui, ilmu Kejawen dirintis oleh tokoh-tokoh ulama pada zaman Wall Sembilan dulu dan para ulama sesudahnya. Mereka itu mencari jalan untuk menerjemah-kan kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab tasawuf, khususnya ke dalam bahasa Jawa. Maka kitab itu disebut kitab Kejawen, karena per alihan bahasa dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa, baik yang Kawi maupun krama inggil. Misalnya,, kitab karya Kia Saleh Darat Semarang. Kitab Majmu' dan kitab Munjiyat, misalnya, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sehingga sering disanka, disebut kitab Kejawen.

Penerjemahan kitab-kitab itu bermaksud memberi jembatan (pada waktu itu) bagi penganut agama pada waktu itu (zaman Wali Sembilan atau sesu¬dahnya) untuk memudah-kan memahami agama yang baru, yaitu Islam, dari agama sebelumnya. Para auliya itu memberikan warna tersendiri dalam dunia tasawuf, dan dari situlah muncul Kejawen. Misalkan orang bertapa, dalam Islam bertapa ini kemudian diganti de¬ngan khalwat, menyendiri. Dalam khalwatnya mereka selalu menjaga wudhu, dan tidak boleh melepaskan dzikir kepada Allah SWT.

Memang ada ilmu Kejawen yang bertujuan semata-mata mencari kesaktian,termasuk untuk pengobatan dan sebagainya. Ada pula ilmu Kejawen yang tumbuh terlepas dari ajaran Islam. Nah, dari sinilah kita harus pandai-pandai memilah dalam masalah ini.

Seperti contoh tapa pendhem, itu tidak ada di dalam Islam. Begitu juga dalam tarekat. Dalam Islam sudah ada aturan untuk puasa atau shiyam, yaitu puasa tidak makan dan minum serta tidak berhubungan suami-istri dari subuh hingga maghrib. Karena itu, kalau ada yang berkata bahwa tapa pendhem dipercayai akan memberikan kesaktian, kita sebagai kaum muslim patut berhati-hati. Bisa-bisa itu adalah ulah setan. Jika kita percaya kepada kepercayaan semacam itu, dikhawatirkan kita akan jatuh pada kesyirikan.

Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/

Ilmu Hikmah, Kesaktian Dan Ilmu Karomah


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya, Ada pandangan yang berkembang bahwa ilmu hikmah sama dengan ilmu tasawuf. Seolah orang yang memiliki kelebihan supranatural, identik dengan seorang sufi. Saya jadi bingung. Sebenarnya apakah persamaan dan perbedaannya? Apakah karamah itu ada kaitannya dengan ilmu hikmah? Atas jawa-bannya, saya sampaikan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. H.M. Syamsi Wafa Jin. A.I. Suryani, Sidoarjo, Jawa Timur

Jawaban :

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ilmu tasawuf dan ilmu hikmah memiliki perbedaan yang jauh, sehingga jangan sekali-kali mencoba untuk mempersamakannya.

Ilmu tasawuf itu erat kaitannya dengan ilmu tarekat dan ilmu syareat, keduanya tidak bisa dipisahkan. Mempelajari tasawuf tanpa syareat itu jelas tidak dibenarkan.

Untuk mempelajari tasawuf, harus mempelajari ilmu syariat dulu. Syariat sudah mengatur dan menjadi dasar. Kalau dipelihara dengan baik akan berbuah tarekat. Pakaian di antara tarekat tersebut adalah tasawuf. la mengatur bagaimana menjaga perbuatan, iman, amal dan Islam. Yaitu untuk mengantisipasi datangnya penyakit penyebab rusaknya amal, itulah yang disebut tasawuf. Maka itu inti tasawuf adalah akhlak dan adab atau sopan santun.

Ada orang yang diberi kelebihan oleh Allah (Swt) berupa ahlak dan adab. la memiliki kemampuan weruh sakdurunge winarah, atau waskita, yaitu tahu sebelum kejadian. Bagi orang yang tahu, tidak akan berani berbicara sembarangan. la merasa malu kepada Allah karena mendahuiui kehendak-Nya.

Orang yang mencapai tingkatan tasawuf yang berakhlak dan beradab, akan mempergunakan tasawuf untuk menjaga diri dari perbuatan yang tidak menguntungkan. Seperti bagaimana membersihkan riya', atau bagaimana cara membawa wudu yang maknannya bukan sekadar untuk menjalankan shalat tapi di luar shalat. Tapi bisakah wudu itu, setelah menyucikan secara lahiriah, juga membuat suci hati. Ini hakikat wudu dalam dunia tasawuf.

Sedangkan ilmu hikmah berbeda.iImu hikmah, asal dia mengetahui ilmu tauhid itu sudah cukup. Yaitu mempelajari fatwa ulama khususnya dan Baginda Nabi Muhammad (saw).Ulama yang mengetahui rahasia ayat, doa dan sebagainya sehingga bisa sehingga bisa mengobati orang, berani tirakatnya, harus puasa sekian kali dan sebagainya, siapa pun asal siap mentalnya, bisa mempelajari llmu hikmah itu. Untuk memeberi pengobatan atau pertolongan itu, dengan jalur ilmu hikmah. Seperti supaya dagangannya laris, dan sebagainya, itu bisa dicapai oleh siapa pun. la mengetahui, membaca ini atau itu, bisa dipakai untuk jimat. Kalau ditaruh di toko, Allah (Swt) akan membukakan rezeki yang lebih banyak, dan orang yang membeli juga banyak-sebab ada doa yang mengandung pengabulan hajat tersebut. Itulah ilmu hikmah, yang terkait dengan rahasia ilmu Al-Qur'an untuk dimanfaatkan manusia.

Bisa saja ilmu hikmah terkait dengan karomah. Tapi sebenarnya karamah itu dikhususkan bagi waliyullah atas kedekatan seseorang di sisi Allah dan Rasul-Nya. Sekali lagi saya tekankan, karamah bukan tujuan para wali. Tapi Allah (Swt) memberikannya. Jadi, mau diberi karamah apa pun, kalau Allah (Swt) memberi, sekalipun tidak masuk akal bagi manusia, itu sangat mungkin terjadi. Karena Allah (Swt) tidak pernah terikat oleh akal manusia. Para wali mempergunakan karomahnya bila terdesak. Sekalipun mampu, namun karena malu, mereka tidak sembarangan menggunakan. Apalagi karena itu bukan tujuan. Mereka tidak membangga-banggakan karomahnya. Sewaktu-waktu bila terdesak dan sangat diperlukan, baru itu akan keluar.

Orang yang menjalankan ilmu hikmah diberikan karomah karena karomahnya ayat-ayat Allah (Swt), yaitu yang memiliki kandungan asrar (rahasia) luar biasa. Karena itu Allah (Swt) menurunkan karomah. Tapi hakikatnya bukan karomah si pelaku ilmu hikmah, melainkan karena pribadinya bertawasul kemudian mendapat karomah dari ayat-ayat tersebut. Sedangkan para wali tidak begitu, Karomah yang mereka miliki langsung dari Allah (Swt), yang disebabkan karena penghambaannya kepada Allah. Itu perbedaannya.

Sumber: Mengenal Tarekat Habib Lutfi bin Yahya
Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/

Berdikir Sampai Gila, Artinya?


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Seorang guru tarekat memberi keterangan bahwa membaca zlkir La ilaha illallah dalam sehari semalam tidak boleh lebih dari 12.000 kali. Kalau melebihi, bisa berakibat gila. Benarkah hal itu? Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan Hadist, Perbanyaklah zikir sampai kamu gila?" Demikian pertanyaan inl, atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Bambang, ada bacaan tertentu yang harus Anda perhatikan. Misalnya, bacaan kalimat La Ilaha illallah, bacaan Allah, Allah, kalimat yang mengandung Asma al-Husna, atau wirid yang mengandung ayat Al-Qur'an. Semua itu harus diperhatikan, karena mengandung asrar atau rahasia karena di dalamnya mengandung magnet yang tinggi, tergantung besar-kecilnya, sesuai pemberian Allah (Swt).

Hal itu tidak diketahui oleh semua ulama. Yang mengerti hanya sebagalan besar kalangan para wall. Saya ambilkan contoh yang mudah dipahami, misalnya obat-obatan. Dari tablet sampal kapsul, yang mengerti dosis-dosisnya adalah dokter. Bila si peminum obat mengalami overdosis, pasti akibatnya kurang baik. Kekuatan zikir lebih dari itu. Bila tubuh dan batinnya kurang kuat menerima asrar-nya, maka akan timbul perbuatan ganjil atau tidak pada tempatnya. Terkadang yang mengamalkan tidak merasa. Untuk itu perlu batasan dalam dosisnya.

Adapun terkait Hadist yang Anda tanyakan, yang dimaksud sampai gila adalah cinta yang luar biasa. Sebab, bila zikir dibaca dengan baik, ia mampu menumbuhkan cinta yang amat kuat kepada Allah, juga tumbuh rasa khawf (takut) bila imannya meluntur atau tipis, yang berakibat dirinya jauh dari Allah dan Rasul-Nya. Maka gandengan kalimat khawf adalah raja' (peng-harapan) yang penuh. Tiada yang bisa diharapkan terkecuali Allah, baik untuk bersandar, berteduh, berlindung maupun memohon. Yang ditakutkan adalah mati dalam keadaan su'ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek), dan yang diharapkan yaitu mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik). Selain dan khawf, raja', ada juga haya', yang artinya malu kepada Allah. Dia malu bila berbuat maksiat, malu bila akhlaknya dan budi pekertinya tidak terpuji kepada Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para wali, dan para ulama. Itulah yang terkandung dalam Hadist tersebut. Jadi bukan gila dalam pengertian penyakit dan bukan pula gila dalam pengertian meninggalkan syariat atau sunnah, akhlak dan adab Nabi (saw).

Orang yang gila (tergila-gila) atau gandrung kepada Allah jauh berbeda dibanding gila karena maksiat. Biasanya orang yang gandrung dengan pacarnya, akan berpakaian rapi, menggunakan parfum, berbuat apa saja untuk mendapat simpati dan cintanya. Padahal bila sudah tercapai, orang yang dicintai dan dinikaihnya itu, tidak bisa menjamin akan selamatdari api neraka, atau menjadi jaminan masuk surga-Tetapi, kalau kita gandrung dengan Yang Menciptakan surga, Pastilah kita akan didekatkan dengannya, masuk surga.

Sumber : Majalah Al Kisah

Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/

Perbedaan Orang Islam Yang Bertarekat Yang Tidak Bertarekat


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya yang terhormat. Saya ingin mengajukan pertanyaan penting yang berhubungan dengan masalah kemurniaan dan kesempurnaan iman.Pertama, apakah, di dalam mendalami masalah keimanan, setiap muslim lebih baik menjadi jamaah tarekat? Kedua, apakah dengan cara menjadi anggota jamaah tarekat di bawah bimbingan mursyidnya, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamalkan tuntunan agama Islam, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muhammad (saw) melalui bimbingan mursyid tersebut? Bagaimana dengan para ulama atau ustad yang mengajarkan Islam tanpa menjadi anggota jamaah tarekat? Demikian pertanyaan dari saya, semoga menjadi manfaat. Amin ya Robbal Alamin.Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Tentang keimanan seseorang sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,
"Katakanlah, jika kamu mencintai Allah..." (Ali Imran: 31).

Ketika ayat ini turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw), "Matta akunu mu'mman shadiqan?" atau "Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?" Dijawab oleh Baginda Nabi (saw), "Idza ahbabtallah" atau "Apabila engkau mencintai Allah"
Seianjutnya sahabat itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Rasulullah (saw),"Orang itu mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya"
Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi
"Wayatawaffatuna fil- Imani qadrl tawannutihim fi mahabati,"
atau "Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah." Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw). Hadit itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang, tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw). Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw). Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah, keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah. bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Maka, apabila kita melihat ayat,
«Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihl dan mengampunlmu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
(All Imran: 31).

Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut? Jawabanya; di antaranya bahwa Allah dan Rasul-Nya jelas tidak bias dipisah-pisahkan. Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai Nabi-Nya. Dan tentu saja, dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya. Di sinilah pengertian tarekat yang sebenarnya, yakni untuk membimbing orang itu mencapai keimanan sempurna.

Keimanan terbentuk secara terbimbing. Di situlah peran para mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, makrifat kita,tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri, sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut Bagaimana orang yang tidak bertarekat? Saya jelaskan dulu, syaratnya bertarekat itu harus tahu syariat dulu. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh individu sudah dipahami. Diantaranya, hak Allah (Swt): wajib, mustahil, dan jaiz (berwenang). Lalu hak para rasul, apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi mereka.

Setelah kita mengenal Allah dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang disampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji baga y ng mampu. Begitu juga kita mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu', dan lainnya.
Namun Anda harus bisa membedakan, orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirian, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah bersama-sama, yaitu melalui seorang mursyid. Kalau kita mau menuju Mekkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, tentu berbeda dengan orang yang datang kedua tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena si pemimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantarke rukun zamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lainnya Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, namun kalau tidak tahu rukun zamani, dia tidak akan mampu untuk memulai tawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya itulah perbedaannya.

Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/


Mengapa Kita Perlu Bertarekat


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya yang terhormat, apakah setiap muslim lebih baik menjadi jama'ah thariqah? Apakah, dengan cara menjadi jama'ah thariqah, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamal-kan tuntunan agama, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muhammad SAW melalui bimbingan seorang mursyid? Demikian pertanyaan dan saya. Amin ya rabbal alamin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Busman Ependi Lamongan, Jawa Timur


Jawaban :
Wa alaikumussalam wr. wb.
Dalam Al-Quran ada ayat yang artinya, "Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31).
Ketika ayat inl turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, bilamana aku menjadi mukmin sesungguhnya?


Baginda Nabi SAW menjawab, "Apa-bila engkau mencintai Allah. Mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang di-cintai Allah dan Rasul-Nya. Dan keimanan mereka itu bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah SWT. Rasulullah SAW mengulangi kalimat yang terakhir sampai tiga kali. Lalu beliau kembali bersabda, "Kadar bobot iman se¬seorang tergantung pada kecintaannya kepadaku. Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenci-annya kepadaku." (Al-Hadist)


Jadi, kalau kecintaannya kepada Rasulullah SAW bertambah, kecintaan dan keimananya kepada Allah SWT pun akan ber¬tambah. Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Demikianlah Allah SWT mengajarkan kepada kita cara mencintaiNya. Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bisa dipisahkan.

Kalau seseorang mencintai Allah, la juga mencintai Nabi-Nya. la akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya. Siapakah orang-orang yang dicintai Rasul-Nya? Tidak lain adalah para pewarisnya, yaitu para ulama, orang-orang shalih, termasuk para mursyid. Merekalah yang senantiasa menapaki jejak Rasulullah SAW, mengikuti sunnah-sunnahnya.

Sementara itu, keimanan terbentuk secara terbimbing. Nah, di situlah peran para mursyid. Melalui bimbingannya, kita meningkatkan tauhid dan ma'rifat kita kepada Allah SWT. Lalu, bagaimana dengan orangyang tidakberthariqah? Sebelumnya, perlu di-ketahui bahwa orang yang ingin bertha-riqah, teriebih dahulu harus memahami syari'at dan mefaksanakannya. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dipahaminya. Di antaranya, memahami hak Allah SWT dan hak para rasul.


Setelah mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang di-sampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bag! yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui arkanui iman (rukun Iman) serta beberapa tuntunan Islam lalnnya, seperti shalat, wudhu', dan Iain-Iain.

Namun Anda harus tahu, orang yang menempuh jalan kepada Allah SWT secara sendirian tentu berbeda dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah SWT bersama-sama dengan orang lain, yaitu mursyid. Kalau mau menuju Makkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.


Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuan-nya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai pembimbing akan lebih runtut dan sempurna, karena si pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun Yamani, sumur zamzam, maqam Ibrahim, dan Iain-Iain. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, kalau tidak tahu rukun zamani, la tidak akan mampu memulai thawaf, karena tidak tahu bagaimana memulai-nya. Itulah perbedaannya.


Sumber : Majalah Alkisah
Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/

Cara Berdoa Yang Sangat Disukai Allah Swt


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh. Saya berbahagia bisa berkonsultasi masalah spiritual, agama, dan lain sebagainya. Untuk itu saya memberanikan diri untuk coba menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan spiritual itu.


Selama ini saya selalu berdoa namun mengapa belum juga dikabulkan. Saya tidak berburuk sangka kepada Tuhan, na’udzubillah. Sebab, Allah Maha Tahu terhadap apa yang tepat bagi saya. Namun, sebagai manusia, saya memiliki keinginan-keinginan, misalnya, ingin memiliki kendaraan, rumah, naik jabatan, dan lain sebagainya. Sebagai pegawai negeri memang mustahil bisa kaya raya. Permintaan saya, bagaimana saya sekeluarga bisa hidup layak, bisa menyekolahkan anak dan lain sebagainya. Apakah saya harus kontrak rumah dan naik bus umum terus menerus sementara saya sudah memiliki dua orang anak dan kesemuanya sudah menjelang masuk sekolah.


Pernah saya bertanya kepada seorang Kiai yang dijawabnya bahwa Allah tak menolak doa saya, tapi berproses. Kalau tiba-tiba saya menjadi kaya, orang akan curiga. Tapi, Allah (Swt) akan menentukan jalan rejeki saya. Jawaban kiai itu masuk akal. Apalagi, katanya, menjadi kaya itu juga butuh mental yang siap. Kalau tidak, bisa gila, sombong, dan kemudian durhaka kepada Allah yang memberinya.
Kini, saya pasrah dengan apa yang diberikan Allah. Saya hanya bekerja keras dengan mencari uang halal. Saya juga coba merangkap mengajar. Saya menghindari betul yang namanya korupsi dan sogokan. Kalau ada orang memberi uang saya, saya tanya untuk apa uang itu? Jika terkait dengan pekerjaan, saya menolaknya.


Yang ingin saya tanyakan, adakah kunci doa agar dikabulkan Allah. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi. wabarakatuh. Muhammad Faisal Mukim

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas perhatian Anda. Islam itu memang agama doa. Hampir semua aktifitas kaum muslimin selalu diawali dan diakhiri dengan doa. Mengapa demikian? Karena kaum muslimin menganggap hidup ini adalah dalam rangka menjalankan perintah Allah yang di dalamnya penuh dengan ibadah.

Berdoa juga ibadah. Nabi pernah bersabda bahwa orang yang tidak pernah berdoa adalah orang yang sombong. Nabi bersabda: "Doa itu adalah pedang (senjata) orang beriman." Sebab, dengan berdoa, kita masih mempercayai Dzat Maha Tinggi yang Maha Kuasa atas segala makhlukNya. Allah berfirman:"Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan."

Lantas, bagaimanakah cara berdoa yang disukai Allah sehingga peluang terkabulkannya menjadi lebih dekat? Dalam beberapa kitab yang membahas tentang doa seperti yang dikutip oleh Mundzir Nadzir dalam Afdhaliyyah Al-Wasa’il disebutkan bahwa ada empat belas kunci agar Allah cepat mengabulkan permohonan.

1.       Bacalah basmalah dan hamdalah (alhamdulillah) atau pujian kepada Allah serta shalawat kepada Rasulullah, keluarga serta sahabatnya untuk mengawali permohonan.
2.       Mohonlah ampunan atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuat dengan mengucapkan istighfar.
3.       Sampaikan permohonan itu dalam kedaan suci, memiliki wudhu, bahkan apabila perlu lakukanlah mandi taubat.
4.       Sampaikanlah permohonan dengan hati yang khusuk dan tertuju sepenuhnya kepada Allah.
5.       Berdoa dengan hati ikhlas, tanpa paksaan, penuhi kecintaan serta kepatuhan kepada Allah.
6.       Menghadap kiblat, karena hal itu sangat disukai oleh Allah.
7.       Membersihkan perut dari makanan yang haram. Jika pernah makan atau minum sesuatu yang dilarang, kosongkanlah dulu pengaruhnya seraya bertobat. Jika pernah makan makanan hasil korupsi atau hasil curian, misalnya, segeralah bertobat dan tak mengulanginya lagi.
8.       Ucapkanlah permohonan dengan suara lirih bukan lantang.
9.       Gunakanlah wasilah (perantara) melalui para Nabi dan orang-orang suci lainnya.
10.   Kesepuluh, saat berdoa tidak memandang ke atas.
11.   Utarakan permohonan secara berulang-ulang dengan bahasa yang dimengerti, dan tidak meminta hal-hal yang berbau maksiat, contohnya memohon agar menang lotere dan lain sebagainya.
12.   Merentangkan kedua tangan hingga sejajar dengan pundak selayaknya orang berdoa.
13.   Jika memang benar-benar ingin memohon kepada Allah, usahakan diawali dengan shalat sunnah hajat. Sebab, dalam, beberapa Hadist disebutkan, jika kita menginginkan pertolongan Allah, maka dirikanlah shalat dua rekaat lalu mintalah kepada Allah. Menurut sabda Nabi, permintaan itu akan dikabulkan.
14.   Harus yakin bahwa Allah mengabulkan doanya. Sabda Rasulullah, "Berdoalah kepada Allah dan kalian yakin Allah mengabulkannya."

Kalangan sufi pernah berkata, "Dosa yang paling besar umat manusia adalah menganggap Allah tidak mengabulkan doanya." Karena doa juga merupakan ibadah, maka berdoa juga berpahala. Karena itu, senantiasalah berdoa. Seandainya, Allah belum juga mengabulkannya, maka kita sudah mendapatkan pahala berdoa.

Perlu Anda ingat juga, jika manusia bosan dengan permintaan orang lain berulang kali, maka Allah justru sebaliknya. Dia (Swt) sangat menyukai seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya.

Sumber: Majalah Al Kisah
            Ucapan trimakasih kepada https://sufiroad.blogspot.com/

20 August 2014

Ilmu Syariat Dan Tarekat Merupakan Satu Kesatuan


Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya
 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur kepada Allah (Swt) atas nikmat, rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad (saw), keluarga dan sahabatnya, dan semoga rahmat serta inayah-Nya tercurah kepada Habib Luthfi bin Yahya dan keluarga. Amin. Saya sering mendengar kata syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat; tetapi saya belum begitu paham apa arti semua itu. Tolong Habib jelaskan satu per satu. Bagaimanakah caranya jika saya berbaiat langsung kepada Habib, olehkan melalui surat, atau datang sendiri? Bolehkah seorang santri memiliki dua atau tiga guru tarekat? Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. M. Riyafiy, Pamiritan, BalapulangTegal, Jawa Tengah

Jawaban :
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Syariat, tarekat, dan hakikat itu tidak bisa dipisah-pisahkan. Bertarekat meninggalkan syariat, tidak benar. Karena, tarekat adalah buah syariat. Jadi, kalau bertarekat, tidak terlepas melalui pintunya dahulu, yaitu syariat. Syariatlah yang mengatur kehidupan kita, dengan menggunaka hukum, dart mulai akidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kltab Allah, Rasul, hari akhir, dan takdir baik dan buruk. Dan syariat pula mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Serta keutamaan shalat, juga hubungan antara manusia, seperti jual-bell, pernikahan, dan lainnya.

Setelah menjalankan syariat dengan balk, kita bertarekat, untuk menuju jalan kepada Allah dengan baik. Jadi, secara sederhana menuju jalan kepada Allah disebut tarekat Bertarekat perlu dlblmbing para mursyid, yang akan mengantar murid darl mengerti dan mengenal Allah sampai nanti "dikenal" Allah (swt), yakni dekat dan disayang oleh Dia (Swt). Amalan utama tarekat adalah berzikir.

Hanya, perlu dipahami, pengertlan tarekat tidak terbatas hal itu. Yang dltuntut oleh tarekat di jalan Allah adalah' perilaku para pengikut tarekat yang mulia. Terutama mem-bersihkan kotoran-kotoran yang ada dl dalam batin dan lahirnya, sehingga secara lahir dan batin kita bersih dalam menuju ke jalan Allah.

Sebagai contoh berwudu. Wudu adalah peraturan syariat, guna menjalankan shalat dan lain-lainnya. Biasanya kita hanya berwudu untuk mendapatkan keutamaan wudu, serta sebagai syarat untuk menjalankan shalat. Sedangkan tarekat menuntut buah wudu. Berapa kali kita membasuh muka ketika berwudu. Dan berapa kali kita membasuh tangan setiap hari untuk menjalankan ibadah. Coba kita aplikasikan dalam kehidupan kita, sosialisasikan untuk kehidupan kita masing-maslng. Kalau sudah sering membersihkan muka, kita harus leblh mengerti serta merendahkan hatl, malu kalau kita berlaku sombong.

Darl hasll wudu, kita cari buahnya yaitu lebih berakhlak, lebih rendah hati, lebih beradab, sehingga ada peningkatan dart hari ke hari. Itulah buahnya, sehingga kita semakin dekat kepada Allah. Sebab, justru di hadapan Allah, kita semakin menundukkan kepala. Karena semua itu adalah pemberian-Nya semata-mata. Kalau bukan karena pemberian-Nya (Swt), bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.

Begitu juga, kita pun diberi pemahaman oleh Allah terhadap junjungan kita Nabi Muhammad (saw) atas limpahan rahmat kepadanya, sehingga kita menjadi pengikutnya yang setia. Untuk itulah kita selalu memuji I Rasulullah (saw) dengan tujuan supaya kita lebih dekat kepada Rasulullah. Dengan begitu, sosok Rasulullah akan menjadi idola bagi kita dalam menapaki kehidupan hingga akhir hayat.

Bertarekat akan memupuk sikap rendah hati kita kepada para Wali, ulama, guru-guru kita yang telah memberikan pemahaman tentang kebenaran ajaran syareat dan tarekat. Itu baru dari segi membersihkan muka secara lahiriah dan bathiniah, hal itu akan mencegah tangan kita dari berbuat maksiat. Kita akan selalu diperingatkan untuk tidak mengambil yang bukan milik kita apalagi melakukan korupsi, misalnya yang sangat merugikan rakyat. Sebab tangan kita sudah disucikan setiap hari. Kalau kita bisa mempelajari banyak hal dari wudu saja, insyaAllah masalah korupsi itu bisa terberantas. Lalu telinga kita yang digunakan untuk mendengarkan suatu yang baik. Kita tidak akan menyampaikan yang kita dengar kalau informasi itu justru akan memancing masalah atau memanaskan situasi, apalagi menimbulkan pecah belah dan kekacauan. Tentu saja, hal itu berlaku pula bagi mata kita, kedua kaki kita, dan anggota badan lainnya. Itulah hasil karya, hasil didikan, yang mendapatkan bimbingan dari Allah.

Mengapa kita harus berwudu ketika akan mendirlkan shalat? Berwudu tidak hanya membersihkan kotoran lahiriah kita, tetapi pada hakikatnya jugamembersihkan kotoran batinlah. Al-Qur'an menyebutkan bahwa shalat mencegah dari kemungkaran dan kerusakan, karena kita sudah memahami makna wudu dan shalat itu secara tarekat.

Bagi para murid yang ingin belajar tarekat, saya anjurkan, mulailah dari seorang guru yang dipercaya. Tapi sebaliknya, bagi guru yang ingin ditaati muridnya, cobalah didik para murid itu seperti timba yang mendekati sumurnya, bukan sumuryang mendekati timbanya. 

Maka akan terbentuklah kewibawaan guru terhadap muridnya. Bagi murid, saya anjurkan untuk belajar hanya pada satu guru. Sebagai contoh mudahnya, kalau air teh dicampur susu lalu dicampur lagi dengan kopi atau lainnya, meskipun halal, apa jadinya? Bagaimana rasanya? Jadi kalau ingin minum teh, minum saja teh tanpa dicampur dengan lainnya. Nikmati minum teh dengan gula, kemudian cari manfaatnya bagi tubuh. Begitu juga kalau ingin minum kopi, susu, atau lainnya. Itu hanya sebagai perumpamaan. Jadi, kalau ingin belajar tarekat, jangan sekadar melihat organisasi itu besar Meski organisasi tarekat itu kecil, kalau lebih berpengaruh terhadap jiwa kita, sehingga iebih mendekatkan diri kepada Allah, tidak perlu ragu lagl untuk mengikutinya.

Sumber: Majalah Al Kisah
Ucapan Trimakasih kepada http://sufiroad.blogspot.com/

Benarkah Tasawuf Itu Hanya Ilmunya Para Wali

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi Bin Yahya

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi al-Bagdadi. Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat, puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali. Karena itu kami memohon petunjuk. Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.  Saleh

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah. Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari, bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah, "Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa." Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?

Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah (Swt). 

Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi. Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap memenuhi syarat saja. 

Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).

Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.

Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.

Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu. 

Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat mengucap takbiratul ihram. 

Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib. Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.

Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.

Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.

Ucapan Trimakasih kepada http://sufiroad.blogspot.com/