Salah satu satu keunikan makam di Tebuireng ketika
Negara kita tercinta Indonesia memiliki hajat besar pesta rakyat alias Pemilu
(pemilihan Umum), siapapun calon Presidenya hukumnya wajib alias Fardlu Ain
untuk Ziarah keTebuireng.
Siapapun calonya tidak memandang apa itu dari
kalangan NU, Muhammadiyyah, LDII, HTI, ataupun Wahabi yang yang notabenya
mengsyirikkan mengharomkan sekalipun, ahli kepercayaan, bahkan sampai lintas agama.
Bukan
hanya calon Presiden saja yang berziarah ke Tebuireng, tapi juga
seseorang ketika mengajukan diri untuk maju menjadi Calon Gubernur, calon
Bupati bahkan calon Kepala Desa di suatu dareah di Indonesia, merekapun
menyempatkan diri untuk ziarah ke Tebuireng.
Bahkan menurut salah satu cerita Presiden Ir. Soekarno sebelum
menjadi Presiden Republik Indonesia ini pernah melakukan Riyadhoh alias tirakat
selama 41 hari di makam tebuireng.
Karena menurut salah satu kisah sebelum berdirinya pesantren Tebuireng tahun
1899, didalam pesantren Tebuireng sudah ada makam keramat makam seseorang Waliyyullah
yang bernama Syaikh Maulana Ishaq Attabarqi.
Kenapa
mereka memilih lebih memilih untuk ziarah ke Tebuireng, tidak ziarah ke makam
Wali Songo padahal para Wali Songo telah mashur dengan kekeramatanya dan juga
merupakan leluhur dari pendiri Tebuireng “Fahrul Wujud, Roisul Akbar, Al Allamah Tuan
Guru, Paduka Mulya, Syaikhul A’dhom, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari”. Begitulah
para ulama memberikan gelar pada beliau saat beliau masih hidup hingga saat
ini.
Ada suatu Kisah menurut KH Abdul Qoyyum Mansur Lasem Rembang pada waktu beliau berceramah di acara Khoul KH Abdul Hamid Pasuruan ke 36 Tahun 2017, Bahwasanya KH Hamid memberikan suatu ijazah Shalawat kepada sahabatnya yang juga seorang Kyai .
Ijazah Shalawat tersebut redaksi bacaanya susunanya tidak bisa di mengerti artinya, shalawat tersebut "ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU". Dan ketika sahabat KH Abdul Hamid ini berada di Pondok Tebuireng, malam harinya dia bermimpi bertemu dengan seseorang dan diberi redaksi bacaan shalawat yang sama dengan Kyai Hamid.
Maka tidak ada salahnya jika seseorang berziarah ke Tebuireng atau ke makom KH Hamid Pasuruan juga membaca shalawat ini : ""ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU" minimal 100 atau 315, atau 1000 kali, terserah semampunya.
Ada suatu Kisah menurut KH Abdul Qoyyum Mansur Lasem Rembang pada waktu beliau berceramah di acara Khoul KH Abdul Hamid Pasuruan ke 36 Tahun 2017, Bahwasanya KH Hamid memberikan suatu ijazah Shalawat kepada sahabatnya yang juga seorang Kyai .
Ijazah Shalawat tersebut redaksi bacaanya susunanya tidak bisa di mengerti artinya, shalawat tersebut "ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU". Dan ketika sahabat KH Abdul Hamid ini berada di Pondok Tebuireng, malam harinya dia bermimpi bertemu dengan seseorang dan diberi redaksi bacaan shalawat yang sama dengan Kyai Hamid.
Maka tidak ada salahnya jika seseorang berziarah ke Tebuireng atau ke makom KH Hamid Pasuruan juga membaca shalawat ini : ""ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU" minimal 100 atau 315, atau 1000 kali, terserah semampunya.
Maka disinilah salah satu letak keunikan yang telah Allah ta’ala
anugrahkan untuk makam yang ada di Tebuireng. Tanpa memandang motif dan tujuan kenapa mereka harus berziarah ke
Tebuireng. Berikut salah satu kisah tentang mistesme misteri makam di tebuireng
:
Menyimak Cerita Mistik Gus Dur Tentang Tebuireng
Oleh : Fathurrahman Karyadi
Ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah Salafiyah
Syafi’iyah Tebuireng Jombang, kami diajar oleh seorang kiai sepuh, almarhum KH
Zubaidi Muslih. Kala
itu, beliau mengampu pelajaran Ilmu Tauhid kitab Kifayatul ‘Awwam.
Di samping keluasan ilmunya, kami kagum mendengar kisah-kisah beliau tentang
sejarah, sastra, mistik, maupun pengalaman pribadi beliau.
Salah
satu yang saya ingat, kiai asal Banyuwangi ini pernah bercerita bahwa jauh
sebelum Pesantren Tebuireng didirikan (1899) ada seorang waliyullah (kekasih
Allah) yang datang. Tidak diketahui berasal dari mana dan entah mau ke mana.
Wali itu berhenti di tepian sungai—kini depan pesantren.
Lalu ia
diam mengamati seraya bertutur dengan kasyaf-nya, “Kelak, di tempat
ini akan datang seorang yang alim, ilmunya menyinari negeri.”Orang tua berjubah
itu berlalu, membuat masyarakat dan warga sekitar keheranan. Ternyata predisksi
beliau itu tidak meleset. ‘Orang alim’ yang dimaksud tak lain ialah Hadratus Syaikh KH Muhammad
Hasyim Asy’ari,
beserta keturunan, dan para santrinya di kemudian hari.
Di
kesempatan lain, saya menemukan riwayat lain di sebuah buku sejarah alumni,
entah kejadian yang dimaksud sama atau memang berbeda.
Alkisah,
ada seorang kakek tua yang berdiam diri di sebuah pohon. Ia menjadikan pohon
itu sebagai tempat berteduhnya sehari-hari. Warga sekitar pun kasihan, mereka
hendak mengajak kakek itu ke rumah agar bisa tinggal bersama.
Namun
kakek itu menolak dengan halus. Ia berpesan jika dirinya wafat maka ingin
dimakamkan di bawah pohon itu. ”Sebab, tempat ini akan menjadi pusat keilmuan,
didatangi banyak orang dari berbagai penjuru negeri, dan makam ini tidak akan
pernah sepi dari para peziarah.” Lalu
kakek itu wafat dan dimakamkan di tempat yang dimaksud, kini masih satu area
dengan kompleks pemakaman Pesantren Tebuireng.
“Saya mengira kisah mistik tentang Tebuireng akan berhenti di situ
saja, nyatanya tidak. Saya menemukan potongan kisah itu di Ciputat. Ketika
membaca buku hasil disertasi Dr Alwi Shihab, di sana terdapat kata
pengantar dari almarhum KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur menyebut sebuah nama yang
bisa jadi itulah nama kakek tua di cerita atas.”
Gus Dur
mengatakan, pada 1941 mendiang mantan Presiden Soekarno berdiam selama emat
puluh satu hari di Pesantren Tebuireng, untuk berkhalwat di kuburan nenek
moyang beliau yaitu Maulana Ishaq al-Tabarqi.
Beliau
inilah yang kemudian diabadikan peranannya karena asalnya, Al-Tabarqi,
merupakan daerah halilintar. Oleh karena itu, didapatlah gambaran pendiri
Kerajaan Demak di Masjid Agung Demak dalam sebuah ukuran kayu dengan tanda
halilintar itu diukirkan pada sebuah punggung kura-kura.
Dengan
demikian, tambah Gus Dur, jelas bahwa kura-kura sebagai lambang umur panjang
atau ban shuihanya digunakan oleh raja-raja dalam legenda Cina,
sedangkan halilintar adalah “merk” khusus Maulana Ishaq. Oleh karena itu,
ketika Bung Karno sebagai keturunan Maulana Ishaq berhasil mendirikan Negara
Republik Indonesia dengan membuat tugu proklamasi di Pegangsaan, di atas tugu
itu dia letakkan sebuah gambar halilintar, sama dengan yang ada di Masjid
Demak.
Dengan
kata lain, Maulana Ishaq, melalui keturunannya Sukarno, juga adalah salah
seorang arsitek Negara Republik Indonesia. Dari sini jelaslah bahwa Sukarno
sebagai tokoh politis karena mendirikan kerajaan, adalah juga keturunan salah
seorang tokoh politik lain, Maulana Ishaq, sehingga tidak mengherankan apabila
beberapa abad berikutnya para Wali Songo juga merupakan tokoh-tokoh politik.
“Hal ini tampak karena menurut cara-cara tahallul dapat
diketahui bahwa para Wali Songo sebenarnya dinamai Wali Songo dan bukan dinamai syaikh atau syuyukh atau mursyid dari tarekat
karena beliau-beliau adalah tokoh pemerintahan, yang juga adalah tokoh-tokoh
politik.”
Entah
bagaimana Gus Dur mampu mengetahui cerita mistik tersebut, bahkan sampai detail
nama, keturunan, sejarah, hingga prediksi ke depan. Di samping perlu ditelusuri
lebih dalam tentang riwayat hidup Maulana Ishaq al-Tabarqi, kita patut meyakini
bahwa orang-orang yang hatinya bersih selalu diberi banyak kelebihan oleh Allah
SWT, seperti di antaranya mengetahui hal-hal gaib.
Wa Allahu ‘alaam bi
Shawaab
No comments:
Post a Comment