Showing posts with label KH Muhammad Hasyim Asy'ari. Show all posts
Showing posts with label KH Muhammad Hasyim Asy'ari. Show all posts

10 June 2018

Kekeramatan Makam Tebuireng

Salah satu satu keunikan makam di Tebuireng ketika Negara kita tercinta Indonesia memiliki hajat besar pesta rakyat alias Pemilu (pemilihan Umum), siapapun calon Presidenya hukumnya wajib alias Fardlu Ain untuk Ziarah keTebuireng.

Siapapun calonya tidak memandang apa itu dari kalangan NU, Muhammadiyyah, LDII, HTI, ataupun Wahabi yang yang notabenya mengsyirikkan mengharomkan sekalipun, ahli kepercayaan, bahkan sampai lintas agama.

Bukan hanya calon Presiden saja yang berziarah ke Tebuireng, tapi juga seseorang ketika mengajukan diri untuk maju menjadi Calon Gubernur, calon Bupati bahkan calon Kepala Desa di suatu dareah di Indonesia, merekapun menyempatkan diri untuk ziarah ke Tebuireng.
Bahkan menurut salah satu cerita Presiden Ir. Soekarno sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia ini pernah melakukan Riyadhoh alias tirakat selama 41 hari di makam tebuireng. Karena menurut salah satu kisah sebelum berdirinya pesantren Tebuireng tahun 1899, didalam pesantren Tebuireng sudah ada makam keramat makam seseorang Waliyyullah yang bernama Syaikh Maulana Ishaq Attabarqi.

Kenapa mereka memilih lebih memilih untuk ziarah ke Tebuireng, tidak ziarah ke makam Wali Songo padahal para Wali Songo telah mashur dengan kekeramatanya dan juga merupakan leluhur dari pendiri Tebuireng “Fahrul Wujud, Roisul Akbar, Al Allamah Tuan Guru, Paduka Mulya, Syaikhul A’dhom, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari”. Begitulah para ulama memberikan gelar pada beliau saat beliau masih hidup hingga saat ini.

Ada suatu Kisah menurut KH Abdul Qoyyum Mansur Lasem Rembang pada waktu beliau berceramah di acara Khoul KH Abdul Hamid Pasuruan ke 36 Tahun 2017, Bahwasanya KH Hamid memberikan suatu ijazah Shalawat kepada sahabatnya yang juga seorang Kyai .

Ijazah Shalawat tersebut redaksi bacaanya susunanya tidak bisa di mengerti artinya, shalawat tersebut "ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU". Dan ketika sahabat KH Abdul Hamid ini berada di Pondok Tebuireng, malam harinya dia bermimpi bertemu dengan seseorang dan diberi redaksi bacaan shalawat yang sama dengan Kyai Hamid.

Maka tidak ada salahnya jika seseorang berziarah ke Tebuireng atau ke makom KH Hamid Pasuruan juga membaca shalawat ini : ""ALLAHUMMA SHOLLI ALAL KHODIRI ALMUHMALI BA'DU" minimal 100 atau 315, atau 1000 kali, terserah semampunya.

Maka disinilah salah satu letak keunikan yang telah Allah ta’ala anugrahkan untuk makam yang ada di Tebuireng. Tanpa memandang motif dan tujuan kenapa mereka harus berziarah ke Tebuireng. Berikut salah satu kisah tentang mistesme misteri makam di tebuireng :

Menyimak Cerita Mistik Gus Dur Tentang Tebuireng
Oleh : Fathurrahman Karyadi

Ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang, kami diajar oleh seorang kiai sepuh, almarhum KH Zubaidi Muslih. Kala itu, beliau mengampu pelajaran Ilmu Tauhid kitab Kifayatul ‘Awwam. Di samping keluasan ilmunya, kami kagum mendengar kisah-kisah beliau tentang sejarah, sastra, mistik, maupun pengalaman pribadi beliau.

Salah satu yang saya ingat, kiai asal Banyuwangi ini pernah bercerita bahwa jauh sebelum Pesantren Tebuireng didirikan (1899) ada seorang waliyullah (kekasih Allah) yang datang. Tidak diketahui berasal dari mana dan entah mau ke mana. Wali itu berhenti di tepian sungai—kini depan pesantren.

Lalu ia diam mengamati seraya bertutur dengan kasyaf-nya, “Kelak, di tempat ini akan datang seorang yang alim, ilmunya menyinari negeri.”Orang tua berjubah itu berlalu, membuat masyarakat dan warga sekitar keheranan. Ternyata predisksi beliau itu tidak meleset. ‘Orang alim’ yang dimaksud tak lain ialah Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, beserta keturunan, dan para santrinya di kemudian hari.

Di kesempatan lain, saya menemukan riwayat lain di sebuah buku sejarah alumni, entah kejadian yang dimaksud sama atau memang berbeda.

Alkisah, ada seorang kakek tua yang berdiam diri di sebuah pohon. Ia menjadikan pohon itu sebagai tempat berteduhnya sehari-hari. Warga sekitar pun kasihan, mereka hendak mengajak kakek itu ke rumah agar bisa tinggal bersama.

Namun kakek itu menolak dengan halus. Ia berpesan jika dirinya wafat maka ingin dimakamkan di bawah pohon itu. ”Sebab, tempat ini akan menjadi pusat keilmuan, didatangi banyak orang dari berbagai penjuru negeri, dan makam ini tidak akan pernah sepi dari para peziarah.” Lalu kakek itu wafat dan dimakamkan di tempat yang dimaksud, kini masih satu area dengan kompleks pemakaman Pesantren Tebuireng.

Saya mengira kisah mistik tentang Tebuireng akan berhenti di situ saja, nyatanya tidak. Saya menemukan potongan kisah itu di Ciputat. Ketika membaca buku hasil disertasi Dr Alwi Shihab,  di sana terdapat kata pengantar dari almarhum KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur menyebut sebuah nama yang bisa jadi itulah nama kakek tua di cerita atas.

Gus Dur mengatakan, pada 1941 mendiang mantan Presiden Soekarno berdiam selama emat puluh satu hari di Pesantren Tebuireng, untuk berkhalwat di kuburan nenek moyang beliau yaitu Maulana Ishaq al-Tabarqi.

Beliau inilah yang kemudian diabadikan peranannya karena asalnya, Al-Tabarqi, merupakan daerah halilintar. Oleh karena itu, didapatlah gambaran pendiri Kerajaan Demak di Masjid Agung Demak dalam sebuah ukuran kayu dengan tanda halilintar itu diukirkan pada sebuah punggung kura-kura.

Dengan demikian, tambah Gus Dur, jelas bahwa kura-kura sebagai lambang umur panjang atau ban shuihanya digunakan oleh raja-raja dalam legenda Cina, sedangkan halilintar adalah “merk” khusus Maulana Ishaq. Oleh karena itu, ketika Bung Karno sebagai keturunan Maulana Ishaq berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia dengan membuat tugu proklamasi di Pegangsaan, di atas tugu itu dia letakkan sebuah gambar halilintar, sama dengan yang ada di Masjid Demak.

Dengan kata lain, Maulana Ishaq, melalui keturunannya Sukarno, juga adalah salah seorang arsitek Negara Republik Indonesia. Dari sini jelaslah bahwa Sukarno sebagai tokoh politis karena mendirikan kerajaan, adalah juga keturunan salah seorang tokoh politik lain, Maulana Ishaq, sehingga tidak mengherankan apabila beberapa abad berikutnya para Wali Songo juga merupakan tokoh-tokoh politik.

Hal ini tampak karena menurut cara-cara tahallul dapat diketahui bahwa para Wali Songo sebenarnya dinamai Wali Songo dan bukan dinamai syaikh atau syuyukh atau mursyid dari tarekat karena beliau-beliau adalah tokoh pemerintahan, yang juga adalah tokoh-tokoh politik.

Entah bagaimana Gus Dur mampu mengetahui cerita mistik tersebut, bahkan sampai detail nama, keturunan, sejarah, hingga prediksi ke depan. Di samping perlu ditelusuri lebih dalam tentang riwayat hidup Maulana Ishaq al-Tabarqi, kita patut meyakini bahwa orang-orang yang hatinya bersih selalu diberi banyak kelebihan oleh Allah SWT, seperti di antaranya mengetahui hal-hal gaib. 


Wa Allahu ‘alaam bi Shawaab

13 June 2016

Kitab Karya Tulisan Tangan Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari

JOMBANG – Perpustakaan Abdul Wahid Hasyim yang terletak di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, menyimpan berbagai karya peninggalan KH M Hasyim Asy’ari. Sedikitnya, 20 kitab tulisan tangan kakek KH Abbdurrahman Wahid atau Gus Dur itu utuh dan terawat. Meskipun, perawatan kitab berusia puluhan dan ratusan tahun itu hanya sekali di fumigasi.

”Memang benar, sejak didirikan pada 1974, seluruh kitab-kita tulisan tangan KH M Hasyim Asy'ari yang disimpan di perpustakaan ini baru sekali difumigasi. Waktu itu sekira 1990, kita kerja sama dengan perpustakaan nasional Jakarta. Tapi cuma sekali saja, sampai sekarang tidak ada lagi,” ujar penjaga Perpustakaan Abdul Wahid Hasyim dan perawat kitab-kitab tulisan tangan KH Hasyim Asyari, Zainul Arifin kepadaOkezone, Selasa (7/6/2016).

Menurut Zainul, selama puluhan tahun, dirinya secara rutin merawat dan membersihkan kitab-kitab tulisan tangan dan peninggalan pendiri organisasi Nahdlatul Ulama tersebut. Untuk merawatnya, Zainul mengaku hanya menggunakan alat sederhana, seperti kapur barus serta merica. Sebab, pondok pesantren tidak memiliki bahan kimia yang khusus digunakan untuk merawat kitab-kitab tersebut.
”Karena ini kitab-kitab tua, maka perawatannya itu harus intensif. Kita gunakan kapur barus dan merica. Merica itu kita gerus, kemudian dimasukkan ke dalam kitab-kitab ini. Biar tidak dimakan hewan pengerat. Karena tidak ada obat yang khusus untuk perawatan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, perawatan menggunakan kapur barus dan merica ini dilakukan hanya saat kegiatan Pondok Pesantren Tebuireng libur panjang. Biasanya saat liburan semester atau libur puasa hingga Hari Raya Lebaran. Sebab, ia juga tak ingin perawatan itu mengganggu ketenangan para santri yang berkunjung ke perpustakaan.
”Kalau perawatan menggunakan merica saat liburan panjang. Soalnya, kalau kita obati terus baunya menyengat. Sehingga waktu libur semester dan libur puasa baru kita obati,” terangnya.
Zainul memaparkan, perpustakaan Abdul Wahid Hasyim ini didirikan 1974. Semula, ratusan kitab tulisan tangan dan peninggalan KH M Hasyim Asy'ari itu hanya disimpan di dalam kamar. Tidak ada satupun sanak keluarga atau santri guru Ir Soekarno ini yang berani menyentuhnya. Jangankan menyentuh, memasuki kamar penyimpanan pun masih pikir-pikir.
”Semuanya disimpan di dalam kamar Ndalem Kasepuhan. Awalnya, tidak ada yang berani mengutak-atiknya. Akhirnya setelah mendirikan perpustakaan ini, kita-kitab itu akhirnya keluar. Yang mempelopori itu KH M Yusuf Hasyim dan Gus Dur,” paparnya. (Fzy)

Sumber : http://news.okezone.com/

12 June 2016

Belajar bersama Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari

HADRATUS SYAIKH MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI
Terjemah Kitab “Adabul ‘Alim wal Muta’alim” Karya Hadlratus Syaikh

Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Rahimahullahu Ta’ala adalah salah satu tokoh dari sekian banyak ulama’ besar di Indonesia. Biografi tentang kehidupan beliau telah banyak ditulis. Beliau dididik dan tumbuh berkembang di lingkungan pesantren. Bahkan sebagian besar waktu beliau dihabiskan untuk belajar dan mengajar di pesantren dan beliau juga banyak mengatur kegiatan yang sifatnya politik dari pesantren.

Pemikiran pendidikan Hadratus Syaikh sejatinya lebih menitik beratkan pada persoalan hati. Sehingga yang menjadi perhatian dalam menuntut ilmu adalah yang  pertama niat yang tulus dan yang kedua semata-mata hanya mengharap ridla Allah swt.

Di sisi lain, pemikiran beliau adalah mengetengahkan nilai-nilai estetis yang bernafaskan sufistik. Hal ini nampak  dalam pandangan  beliau  bahwa  keutamaan  ilmu yang s angat  istimewa adalah bagi orang yang benar-benar lillahi  ta'ala.

Di sampingitu, ilmu dapat diraih bilamana orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala macam sifat yang tercela dan juga  aspek-aspek duniawi
Hadratus Syaikh  memandang bahwa keberhasilan pendidikan tidak lepas dari pendidikan akhlak atau moralitas. Sehingga penekanan terhadap moralitas adalah tujuan utama dalam kaitannya dengan pendidikan, baik pendidikan secara formal maupun informal.

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa sosok Hadratus Syaikh mempunyai  perhatian  khusus terhadap  penyebaran  ilmu dan  pendidikan. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan merupakan sarana penting dalam mensosialisasikan keutamaan dan kebersihan jiwa serta pikiran, termasuk sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim keseluruhannya meliputi 8 bab yaitu :
1.       Keutamaan ilmu dan keilmuan
2.       Etika seorang murid dalam belajar
3.       Etika murid terhadap guru
4.       Etika murid terhadap pelajaran
5.       Etika seorang guru terhadap pribadinya sendiri
6.       Etika guru saat mengajar
7.       Etika guru terhadap murid
8.       Etika terhadap sumber ilmu (kitab) atau literatur dalam proses pembeljaran

Hadratus Syaikh mengawali pembahasan kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim dengan mengutip ayat Al Qur’an dan Hadith kemudian barulah dijelaskan dengan singkat dan jelas. Tujuan dari didapatkannya ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Sehingga ilmu yang dimiliki dapat bermanfaat bagi orang lain sebagai bentuk amal jariyyah bagi kehidupan di akhirat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid harus benar-benar memiliki hati yang suci, jangan mengharapkan hal-hal duniawi apalagi menyepelekan suatu ilmu. Serta bagi seorang guru, hal-hal yang harus diperhatikan yaitu meluruskan niatnya dalam mengajar, tidak mengharapkan imbalan dan materi, serta yang diajarkan harus sesuai dengan perbuatannya.

Belajar adalah suatu proses ibadah untuk mendapatkan ridho Allah swt untuk mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, bukan hanya menghilangkan kebodohan tetapi juga dengan niatan yang suci untuk melestarikan nilai-nilai keislaman.

Di dalam bab awal, KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul ‘Alim wal Muta’alim menerangkan bahwa keutamaan menuntut ilmu yaitu mempunyai derajat yang tinggi. Hal ini termaktub dalam surah Al Mujadalah ayat 11 yang artinya “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang beerilmu beberapa derajat”( Al Mujadalah : 11).
Hal-hal yang menjadi fokus dalam kajian kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim, dapat dikelompokkan menjadi 4 kajian utama yaitu etika seorang guru terhadap pribadinya sendiri, etika seorang guru di dalam proses belajar mengajar, etika seorang guru terhadap murid, dan etika terhadap alat pembelajaran/literatur.

Kitab Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti :
1.       Syaikh Said bin Muhammad al-Yamani guru di Masjidil Haram, Imam bermadzhab Syafii
2.       Syaikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi
3.       Syaikh Hasan bin Said al-Yamani guru besar Masjidil Haram
4.       Syaikh Muhammad Ali bin Said al-Yamani

To be Continued..............

Karya KH Hasyim Asy'ari juga di Pelajari Oleh Muslim Luar Negri

Kitab-kitab karangan pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy`ari, tak hanya dipelajari kaum Muslim di Tanah Air. Kitab karangan kyai yang karib disapa Mbah Hasyim ini ternyata juga dibaca Muslim di luar negeri.

Salah satu pembaca setia kitab karangan Hasyim Asy`ari adalah Kepala Atase Agama Kedutaan Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Syeikh Ibrahim bin Sulaiman Alnughaimshi. Dia mengaku banyak banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menelaah kitab-kitab Mbah Hasyim.

"Salah seorang Ulama besar dari Indonesia, yang pernah menuntut ilmu di Saudi Arabia, KH Muhammad Hasyim Asy`ary, menelurkan banyak kitab. Dan saya membaca semua kitab yang beliau tulis," kata Syeikh Ibrahim sebagaimana dikutip Dream dari laman resmi Kementerian Agama, Senin 16 Februari 2015.

Tak hanya membaca, Syeikh Ibrahim mengaku juga menelaah kitab karangan Mbah Hasyim huruf per huruf. Menurut dia, pemikiran kyai kelahiran 14 Februari 1871 itu sangat luar biasa. “Saya menyimpulkan dan mengusulkan, kitab-kitab karangan KH Hasyim dijadikan pegangan pesantren di seluruh Indonesia. Karena pemikiran Beliau sangat besar dan penting untuk perkembangan, kemajuan, dan persatuan bangsa ini,” tutur Ibrahim.

Selama hidupnya, Hasyim Asy’ari telah menulis sejumlah kitab, di antaranya Adabul 'Alim Wal Muta'allim [sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru], Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah [pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama'ah atau ASWAJA].

Selain itu ada At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan (kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama), An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW, dan beberapa kitab lainnya.  

Ø  Kitab Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al Munkarat Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari Tim Lajnah Ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.

Ø  Kitab Al-Risalah fi al-’Aqaid, Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kyai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya. Risalah ini ditash-hih oleh Syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.

Ø  Kitab Adab al Alim wa al Muta’allim Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti :
1.  Syeikh Said bin Muhammad al-Yamani guru di Masjidil Haram, Imam bermadzhab Syafii
2.   Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi
3.   Syeikh Hasan bin Said al-Yamani Guru besar Masjidil Haram
4.    Syeikh Muhammad Ali bin Said al-Yamani.
Dan masih ada beberapa Kitab-kitab lainya karaya beliau.

04 June 2016

KH Hasyim Asy’ari Gurunya Para Wali

Ini kisah dari Haji Suhaili Pasuruan beliau adalah murid dari Mbah Kyai Thoyib bin Abdus Salam dari Bugul Lor Pasuruan, beliau seorang kyai sepuh guru dari KH Abdullah Hunain dan KH Musthofa Lekok, bahkan KH Abdul Hamid Pasuruan pun  berguru dan bertabarukan kepada Mbah Kyai Thoyib.

Mbah Kyai Thoyib belajar di Makkah dua kali, yang pertama selama enam tahun, dan yang kedua beliau belajar di Makkah selama tujuh tahun, jadi total beliau belajar di Makkah selama tiga belas tahun. Pada waktu beliau akan pulang ke Indonesia malamnya harinya beliau bermimpi bertemu dengan Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Didalam mimpi tersebut Mbah Kyai Hasyim Asy’ari tiba-tiba jejek (menendang) dada Mbah Kyai Thoyib dengan kerasnya. Setelah kejadian mimpi tersebut dengan kuasa Allah SWT segala ilmu oleh Allah seakan akan  di tuangkan kepada beliau, dan beliau diberi kemudahan memahami dan menghafal banyak kitab.

Menurut almarhum KH Ishaq Lathif beliau dari almarhum KH Shobari bahwasanya Mbah Kyai Hasyim Asy’ari  beliau telah mengaji satu kitab yaitu kitab Fathul Qorib sebanyak 41 kali. Artinya berapa banyak  ulama yang telah di datangi Mbah Kyai Hasyim hanya untuk  belajar  satu kitab saja, mungkin 25 Ulama, 35 Ulama atau mungkin 41 ulama hanya untuk belajar satu kitab yaitu Fathul Qorib.

Sangat jarang sekali, apalagi di zaman ini orang yang mau menghatamkan suatu kitab sampai berkali-kali bahkan berpuluh-puluh kali dengan guru yang berbeda-beda pula. Padahal kita jika sudah hatam satu Kitab Pada Kyai A, B dan C, sudah hatam satu kitab tiga kali pada tiga orang ulama kita sudah merasa cukup dan selanjutnya hanya tinggal di mutholaah dan dihafalkan saja.

Hal tersebut  tidak berlaku bagi Mbah Kyai Hasyim Asy’ari, beliau tidak hanya mengejar ilmu tapi juga mengejar Barokah dari banyaknya guru-guru beliau tersebut. Semakin banyak belajar kepada ulama maka otomatis semakin banyak pula barokah yang Insya Allah di dapat.

Diceritakan konon bahwasanya KH Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebuireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fathul Qarib karena terkenang gurunya Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati KH Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.

Mbah Kyai Hasyim adalah pribadi yang tekun, semangat dalam belajar, kuat dalam riyadhoh (tirakat) untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat  mustajab, seperti Padang  Arafah, Gua Hira, Maqam Ibrahim,  juga termasuk ke makam Rasulullah SAW.

Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.Setiap berangkat menuju Goa Hira, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Jika hari Jumat tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jumat di sana.

Di ceritakan oleh  Agus M Zaki cucu Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, ketika selesai mengisi pengajian di Mojokerto, saya dapat kisah tentang kyai Hasyim Asy'ari. Setelah mengkhatamkan kitab Bukhari - Muslim dan menerima sanadnya, beliau dengan berbekal segenggam beras, menyepi digua Hira dan membaca kedua kitab itu selama 41 hari. Ternyata belum sampai 41 hari, beras sudah habis. Akhirnya beliau mencuil sedikit lembaran-lembaran kitab Bukhari Muslim yang dibacanya sebagai ganti beras yang telah habis.

Mbah kyai Hasyim Asy’ari ketika mondok beliau makan nasi aking (karak) lalu beliau bungkus pakai kain lalu di gantung di kamarnya. Setiap kali beliau mau masak beliau ambil lidi beliau tusuk bungkusan nasi aking tersebut , nasi aking yang keluar karena di tusuk itulah yang di masak  buat makan untuk hari itu. Seandainya tidak beruntung  nasi aking yang di tusuk tidak keluar berarti hari itu tidak makan.

Nabi Khidir AS, dikisahkan pula bahwanya suatu ketika ada seseorang di jalan yang sangat yang tubuhnya kotor dan di penuhi penyakit menjijikkan meminta gendong kyai Amin Imron, minta digendong ke gerbang pondok, tapi kyai Imron menolaknya karena merasa jijik. Akhirnya orang tersebut meminta tolong kyai Hasyim yang waktu itu kebetulan ada disitu. Tanpa merasa jijik kyai Hasyim menggendong orang tersebut sampai ke gerbang pondok. Sesampainya digerbang pondok orang itu turun dan sebelum pergi orang itu menyatakan bahwanya jika dirinya itu adalah Nabi Khidir. kejadiantersebut dibenarkan oleh Mbah Kyai Kholil, jika orang tersebut memang benar Nabi Khidir.

Nabi Khidir sendiri merupakan guru spritual dari para wali-waliNya Allah di muka bumi ini, biasanya orang-orang sholeh bertemu dengan Nabi Khidir mereka hanya bisa berjabat tangan. Tetapi yang terjadi dengan Kyai Hasyim, Nabi Khidir sendiri yang meminta untuk di gendong, ini merupakan suatu bentuk keistimewaan/penghormatan (suatu hal yang jarang terjadi) Nabiyullah Khidir minta di gendong. Tentunya karena adanya perhatian yang lebih dari Nabi Khidir kepada Kyai Hasyim dan juga merupakan salah satu cara Allah untuk memuliakan beliauKyai Hasyim.

Kejadian tersebut mengisyaratkan bahwanya jika Kyai Hasyim adalah seorang pilihan yang memiliki maqom (kedukan) yang tinggi baik secara keilmuan dan spritual. Kelak akan menggendong (menjadi bapak) pemuka (muqoddam) bagi umat Islam  di Indonesia. Dan itu pun terbukti dengan beliau mendirikan organisasi Nahdlotul Ulama (NU) pada tahun 1926 M yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan terbesar di dunia.

Beliau pun satu-satunya ulama yang mendapatkan gelar dari para ulama sebagai  Raisul Akbar (Pimpinan terbesar)Nahdlotul Ulama (NU), setelah beliau tidak tidak yang memakai gelar tersebut. Bahkan dalam fakta sejarah tahun 1942 dari pemerintahan Jepang waktu di Indonesia, disitu tertuliskan bahwasanya ada kurang lebih 25.000 (dua puluh lima ribu) ulama atau kyai seluruh Indonesia bahkan ada yang dari luar negri pernah berguru kepada KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Oleh sebab itu para ulama juga menggelari beliau dengan gelar Hadratus Syaikh (Maha Guru yang Mulia).


Mbah Kyai Kholil Bangkalan gurunya, yang dianggap sebagai pemimpin spiritual (Qutub) para kyai di tanah Jawa sangat menghormati Kyai Hasyim. Dan setelah Kiyai Kholil wafat, banyak para ulama yang mengatakan KH. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual (Qutub).

Maka tidaklah heran jika banyak diantara santri-santri yang telah belajar bertahun-tahun kepada Mbah Kyai Kholil bahkan santri-santri tersebut banyak diantaranya merupakan teman dari bah Hasyim tidak jarang usianya lebih tua dari beliau, setelah mereka belajar dari Mbah Kholil Bangkalan banyak yang melanjutkan di makkah selama bertahun-tahun.

Setelah mereka pulang ke Indonesia mereka masih menyempatkan diri untuk belajar lagi kepada Mbah Kyai Hasyim Asy’ari. Hal tersebut juga di lakukan oleh ulama dan kyai – kyai lainya setelah lama belajar di Makkah, mereka pulang ke Indonesia mereka masih belajar lagi kepada Mbah Kyai Hasyim Asy’ari.

KH  Zubair Umar al Jailani  Salatiga Jawa Tengah beliau adalah salah satu murid dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, setelah belajar kepada Mbah Kyai Hasyim Asyari Kyai Zubair melanjutkan  pengembaraan ilmunya ke Makkah. Mbah Kyai Hasyim berpesan kepada Kyai Zubair untuk mendalami hadits setibanya di Makkah tetapi beliau lebih tertarik untuk  memperdalam Ilmu Falak yang telah beliau dapatkan dari Mbah Kyai Hasyim.

Keinginannya Kyai Zubair untuk mendapatkan guru Ilmu Falak seperti  Mbah Kyai Hasyim Asyari Tebuireng di Makkah al-Mukarramah kandas. Karena saat test berlangsung, di ketahui bahwa Ilmu beliau dalam hal falak telah jauh diatas guru yang ada di Makkah sehingga yang terjadi guru tersebut justru yang belajar kepada Kyai Zubair

Kemudian beliau meninggalkan Makkah dan menuju ke Madinah untuk menemui ahli falak disana. Namun saat di Madinah, beliau juga tidak mendapatkan guru yang diharapkan seperti  Mbah Kyai Hasyim Asyari masih belum ketemu. Kemudian beliau di sarankan untuk pergi ke Syiria (Damaskus). Sesampainya di Syiria, hasilnya tetap sama. Hingga ahirnya beliau melanjutkan perjalanan ke Palestina. Dan harapan beliau untuk bertemu ahli falak disana juga masih belum terpenuhi.

Baru kemudian beliau disarankan untuk menemui seorang guru di Al-Azhar waktu itu rektornya dipegang oleh Syekh Musthafa al-Maraghi. Disinilah beliau bertemu  dengan ulama yang beliau harapkan yaitu Syeikh Umar Hamdan al-Mahrasi (w.1949) dengan kitab kajian al-Matla’ al-Sa’id karya Husain Zaid al-Misri dan al-Manahij al-Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy. Data astronomis yang digunakan kitab al-Khulasah al-Wafiyah sama dengan data yang ada pada kitab al-Matla’ al-Sa’id, tetapi menggunakan epoch (mabda’) Mekkah, karena kitab tersebut dikonsep ketika KH. Zubair bermukim di Makkah.

Menurut catatan sejarah bahwasanya Syeikh Umar Hamdan al-Mahrasi merupakan salah satu murid dari Mbah Kyai Hasyim Asy’ari, karena Mbah Kyai Hasyim Asy’ari sendiri  juga pernah mengajar di masjidil harom.

Al-Habib Sayyid Muhammad Asad Syihab seorang jurnalis asing dari Timur Tengah yang masih termasuk kakek buyut Prof. Dr. Muhammad Quraisy Shihab, penulis biografi yang luar biasa. Di tangan beliau pulalah lahir sebuah buku sangat monumental berjudul : “Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesi” (Maha guru Muhammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia). Sebuah buku berbahasa Arab yang di terbitkan di luar negri oleh Percetakan Beirut Libanon.

Hadratus Syaikh termasuk idola saya, bagi saya Hadratus Syaikh memang lain beliau betul-betul Maha Kyai (Al-allamah). Menurut Sayyid Muhammad Asad Syihab "selama ini saya lebih mengenal Hadratus Syaikh lewat tulisan-tulisan beliau sendiri, dari kisah penuturan para Kyai yang menangi (sezaman) yang bertemu dan mengenal beliau.

Risalah kecil Sayyid Muhammad Asad Syihab ini bagi saya sendiri mungkin meneguhkan atau melengkapi gamabaran tentang Hadratus Syaikh : seorang Maha Kyai dalam arti yang sebenar-benarnya sekaligus pejuang bangsa. Beliau tidak hanya memiliki kedalaman ilmu dan tanggung jawab pengamalan serta penyebaranya namun juga keluasan wawasan dan pandangan yang hampir tidak di miliki oleh sembarang Kyai.

Para Kyai dan ulama di Indonesia sangatlah wajar jika menghormati beliau sebagai Raisul akbar (pemimpin agung/tertinggi) mereka satu-satunya. Hampir semua Kyai dari kalangan ahlus sunnah waljamaah terutama dari kalangan jami’iyah Nahdlotul Ulama kesawaban ilmu dan ajaranya. Maka jika orang mengitlakkan menyebutkan "Hadratus Syikh" tiada lain yang di maksud beliau.

Dalam proses penulisan risalah tersebut Sayyid Muhammad Asad Syihab memerlukan  tinggal beberapa lama di pesantren Tebuireng dan mengadakan beberapa kali wawancara baik dengan Hadratus Syaikh sendiri dan maupun dengan lainya. (Oleh KH Mustofa Bisri Rembang Jawa Tengah)

KH Maimun Zubair bercerita : Jika kita telusuri sejarahnya, diantara pondok pesantren di Indonesia ini ada saling kait-mengait. Dari situ kita bisa mengetahui bahwa  Allah swt  itu ternyata mempunyai   mahluq “ZAMAN”. Jadi yang dimaksud dari maqolah “Al insan Abnau Zaman”  adalah, Allah swt itu menciptakan “ZAMAN” bagi orang yang baik-baik. Dan kebaikan “ZAMAN” ini harus diketahui oleh kita.

Pada zaman Mbah Hasyim Asy’ari, orang gak bakalan bisa menjadi kyai besar  tanpa adanya Mbah Hasyim Asy’ari.  Satu contoh di daerah Lasem, disana itu Kyainya besar-besar, ada :
1. Mbah Kyai Masduki
2. Mbah Kyai Kholil Harun
3. Mbah Kyai Ma’shum
4. Mbah Kyai Baidhowi malah paling alim.
Dari empat Kyai itu yang paling erat hubungannya dengan Kyai Hasyim Asy’ari adalah MbahKyai Ma’shum. Maka tidak heran jika beliau santrinya paling banyak. Tidak ada dalam sejarahnya, pondok pesantren yang diasuh Mbah Kyai Baidhowi Lasem itu santrinya banyak, paling pool hanya خمسين (50), dikarenakan hal itu memang  sudah wayahe (waktunya), itu menurut saya,  jelas Syikhul Islam Nusntara ini lebih lanjut.

Jadi waktu itu yang menjadi “ابناءالزمان“ nya adalah Mbah Kyai Hasyim Asy’ari. Pondok yang ada di Sarang  juga begitu, seumpama Mbah saya (KH Ahmad bin Syuaib) tidak ngaji ke Mbah Hasyim Asy’ari, yah habis pondok Sarang. Begitu juga pondok Lirboyo, jika Mbah Kyai Manaf  tidak mondok ke Tebuireng  yah habis santrinya. Pengasuh pondok Ploso (KH Jazuli Usman), pondok Rejoso Peterongan, pondok Buntet  Cirebon juga mengaji pada Mbah Kyai Hasyim Asy’ari. Lha sekarang Abna’ az-Zaman itu berada dimana??  Wallohu A’lam,  saya sendiri tidak tahu, kata Syaikhul Islam menutup ceritanya.

Boleh jadi memang, pada zaman Hadhrotus Syaikh Hasyim Asy’ari ada Ulama ataupun Kyai yang lebih alim atupun lebih besar dan banyak keramatnya dibanding Hadhrotus Syaikh, akan tetapi hampir semua mata dan telinga Masyarakat maupun segenap para Ulama pada masa itu selalu tertuju pada dawuh, sikap, kebijakan, dan apa saja  yang dilakukan Hadhrotus Syaikh, karena beliaulah “SANG ANAK EMAS ZAMAN” dimasanya. Wallohu A’lam. (Sumber : Buku Pesantren Lirboyo Kediri)

Wallohu A’lam Bi Shawab

By Istana99kupu.blogspot.com

Catatan : (Kisah Kyai Hasyim dan Nabi Khidir ini penulis dapatkan langsung dari Haji Qohar Rambipuji-Jember, beliau sendiri mendengarkan langsung langsung dari gurunya Almarhum KH. Ali Wafa/KH. Abdul Aziz (Pendiri Pesantren Al Wafa) Tempurejo Jember.  Menurut KH. Ali Wafa/KH. Abdul Aziz  cerita tersebut pernah di ceritakan  oleh Mbah Kyai Kholil kepada santri-santrinya di Bangkalan dan Mbah Kyai Kholil juga membenarkan Kisah tersebut. (KH. Ali Wafa sendiri merupakan teman dari KH. Hasyim Asy’ari yang sama-sama santri dari Mbah Kyai Kholil Bangkalan).

31 March 2014

Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari


Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Karya dan jasa KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Gedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.

Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi “Melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya”, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Gedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..

Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air. 
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i,Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.

Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
1. Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
2. Harta benda yang berlimpah-limpah
3. Gadis-gadis tercantik

Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid Hasyim (Ayahanda Gus Dur)
6. Abdul Hakim Hasyim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim Hasyim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf Hasyim (Pak Ud).

Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
4. Chotijah
5. Muhammad Ya’kub

Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim => Bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) => Bin Abdul Halim (Pangeran Benowo)=>  Bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).

Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1.  Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
2.  Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3.  Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4.  Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5.  Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6.  Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7.  Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8.  Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan


Di kumpulkan dari berbagai sumber, semoga bermanfaat.