Tanya Jawab dengan
Habib Lutfi Bin Yahya
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat
berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat
Junaidi al-Bagdadi. Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat,
puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada
Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah
seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga
mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat
atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali.
Karena itu kami memohon petunjuk. Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara
tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat?
Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan
terima kasih. Wassalamualaikum
Warahmatullahi wabarakatuh. Saleh
Jawaban:
Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan
keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas.
Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan
haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah.
Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan
jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari,
bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan
terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah,
"Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila
tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa."
Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?
Saya tidak mau
mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau
membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan
Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan
pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar
oleh Allah (Swt).
Menurut syariat,
shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya
berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat.
Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu
menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul
bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai
hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan
waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah,
itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan
Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah
bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia
ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la
ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir,
seperti yang diajarkan Nabi. Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap
cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal
kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus
dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi
berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar
angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap
memenuhi syarat saja.
Tarekat tidak. Anda dituntut
menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah
akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada
akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila
bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi
menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah
tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).
Ada jalurnya, ada
sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda
Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.
Untuk pertanyaan yang
terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari
oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu
syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus
tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai
tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang
alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf,
akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat
kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.
Tarekat akan menuntun
kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus
mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi
tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu.
Agar tidak tergolong
sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung
hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar,
shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di
tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa?
Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau
tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya
antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan
sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat
mengucap takbiratul ihram.
Kalau Anda bertanya
apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan
dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan
hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga
menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib.
Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana
sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan
dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil?
Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga
disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa
pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama,
menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut
baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.
Mengamalkan
serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau
pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan
tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun
membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk
tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak,
sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.
Kalau dasarnya ada
kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak,
sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad
(pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang
berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang
menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.
Ucapan Trimakasih kepada http://sufiroad.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment