Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama
(NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar
para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang lahir di
Pondok Gedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek
moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai
Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja
Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi
Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang
Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua
di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim
dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama
Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir
beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari
Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871
M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya
sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam
kandungan Nyai Halimah bermimpi “Melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya”,
begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa
yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Gedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya
yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut
Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini
layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu
hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat
meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana
ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para
santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar
ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan
hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama
yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren
Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang
kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu
agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak.
Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara
ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah
sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada
keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar
ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di
antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo,
Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H
Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad
Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh”
dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya
jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi.
Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah
melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk
mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari
cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya
Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas
keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat
dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali
ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat
Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad
Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada
tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di
pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal
ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal
dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan
tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah
haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah
beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap
ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW
yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama
Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami
sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau,
Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau
yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak
tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan
ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping
itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji
setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah
air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi
ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci
bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat
kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu
justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami
ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput
dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua
Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di
Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang
tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah,
di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas
(dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu
hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam
segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di
Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris
lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal
dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai
mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh
oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau
sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya,
karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai
Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren
yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan
sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya
besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah
tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu
banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah
warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang
dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng
yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren
Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai
Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala
kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan
Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah
satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan
Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh
ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini
berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim).
Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian
bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan
orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok
pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam
berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16
Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah
Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab
Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad
bin Idris Asyafi’i,Imam Malik
bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa
saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih
menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan
dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan
mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak
mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi
bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan
yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk
menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan
syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai
orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan
dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari
jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang
mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih
condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU
berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada
persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa
kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait
dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim
Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai
salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP,
peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar
Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada
khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan
memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya.
Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya
tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi
Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
1. Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
2. Harta benda yang berlimpah-limpah
3. Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan
kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam
berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir
KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali
memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang,
beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah
satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu
itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan
bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi
jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di
Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara
(Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya.
Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih
sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI)
jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau
meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899
M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas
pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim
dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid Hasyim (Ayahanda Gus Dur)
6. Abdul Hakim Hasyim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim Hasyim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf Hasyim (Pak Ud).
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn
Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan
Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri
yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
4. Chotijah
5. Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M.
Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim => Bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) => Bin
Abdul Halim (Pangeran Benowo)=> Bin
Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan
Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian
kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut
dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa
surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam
untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi
pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat
sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang
kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.
Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga
Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk
meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim
Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim
tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada
di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di
markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan
(Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak.
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi,
Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna
LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir,
diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan
masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan
seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat
Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau
di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan
saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang
pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu
zonder istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau
tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan
umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan
bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam
beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi,
kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya,
kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan
yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi
Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas,
mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman
Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya
dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan
pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail
Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan
belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah
al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan
silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim.
Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada
khususnya
7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami
Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang
berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
Di kumpulkan dari
berbagai sumber, semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment