Ini
kisah dari Haji Suhaili Pasuruan beliau adalah murid dari Mbah Kyai Thoyib bin Abdus Salam dari Bugul Lor Pasuruan, beliau seorang kyai
sepuh guru dari KH Abdullah Hunain dan KH Musthofa Lekok, bahkan KH Abdul Hamid Pasuruan pun berguru dan bertabarukan kepada Mbah Kyai Thoyib.
Mbah Kyai Thoyib belajar di Makkah dua kali, yang pertama selama enam tahun, dan yang kedua beliau belajar di Makkah selama tujuh tahun, jadi total beliau belajar di Makkah selama tiga belas tahun. Pada waktu beliau akan pulang ke Indonesia malamnya harinya beliau bermimpi bertemu dengan Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.
Didalam mimpi tersebut Mbah Kyai Hasyim Asy’ari tiba-tiba jejek (menendang) dada Mbah Kyai Thoyib dengan kerasnya. Setelah kejadian mimpi tersebut dengan kuasa Allah SWT segala ilmu oleh Allah seakan akan di tuangkan kepada beliau, dan beliau diberi kemudahan memahami dan menghafal banyak kitab.
Didalam mimpi tersebut Mbah Kyai Hasyim Asy’ari tiba-tiba jejek (menendang) dada Mbah Kyai Thoyib dengan kerasnya. Setelah kejadian mimpi tersebut dengan kuasa Allah SWT segala ilmu oleh Allah seakan akan di tuangkan kepada beliau, dan beliau diberi kemudahan memahami dan menghafal banyak kitab.
Menurut
almarhum KH Ishaq Lathif beliau dari almarhum KH Shobari bahwasanya Mbah
Kyai Hasyim Asy’ari beliau telah mengaji
satu kitab yaitu kitab Fathul Qorib sebanyak 41 kali. Artinya berapa
banyak ulama yang telah di datangi Mbah
Kyai Hasyim hanya untuk belajar satu kitab saja, mungkin 25 Ulama, 35 Ulama atau
mungkin 41 ulama hanya untuk belajar satu kitab yaitu Fathul Qorib.
Sangat
jarang sekali, apalagi di zaman ini orang yang mau menghatamkan suatu kitab
sampai berkali-kali bahkan berpuluh-puluh kali dengan guru yang berbeda-beda
pula. Padahal kita jika sudah hatam satu Kitab Pada Kyai A, B dan C, sudah
hatam satu kitab tiga kali pada tiga orang ulama kita sudah merasa cukup dan
selanjutnya hanya tinggal di mutholaah dan dihafalkan saja.
Hal
tersebut tidak berlaku bagi Mbah Kyai
Hasyim Asy’ari, beliau tidak hanya mengejar ilmu tapi juga mengejar Barokah
dari banyaknya guru-guru beliau tersebut. Semakin banyak belajar kepada ulama
maka otomatis semakin banyak pula barokah yang Insya Allah di dapat.
Diceritakan konon bahwasanya KH Hasyim Asyari saat
mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebuireng sering menangis jika membaca
kitab fiqih Fathul Qarib karena terkenang gurunya Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap
gurunya itu amat mendalam di hati KH Hasyim Asyari hingga
haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia
ajarkan pada santri-santrinya.
Mbah Kyai Hasyim adalah pribadi yang
tekun, semangat dalam belajar, kuat dalam riyadhoh (tirakat) untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu,
beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira, Maqam Ibrahim, juga termasuk ke makam Rasulullah SAW.
Setiap Sabtu pagi beliau berangkat
menuju Goa Hira di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk
mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.Setiap berangkat menuju Goa Hira,
Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya.
Jika hari Jumat tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan
salat Jumat di sana.
Di
ceritakan oleh Agus M Zaki cucu
Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, ketika selesai mengisi pengajian di
Mojokerto, saya dapat kisah tentang kyai Hasyim Asy'ari. Setelah mengkhatamkan
kitab Bukhari - Muslim dan menerima sanadnya, beliau dengan berbekal segenggam
beras, menyepi digua Hira dan membaca kedua kitab itu selama 41 hari. Ternyata
belum sampai 41 hari, beras sudah habis. Akhirnya beliau mencuil sedikit
lembaran-lembaran kitab Bukhari Muslim yang dibacanya sebagai ganti beras yang
telah habis.
Mbah
kyai Hasyim Asy’ari ketika mondok beliau makan nasi aking (karak) lalu beliau
bungkus pakai kain lalu di gantung di kamarnya. Setiap kali beliau mau masak
beliau ambil lidi beliau tusuk bungkusan nasi aking tersebut , nasi aking yang
keluar karena di tusuk itulah yang di masak
buat makan untuk hari itu. Seandainya tidak beruntung nasi aking yang di tusuk tidak keluar berarti
hari itu tidak makan.
Nabi
Khidir AS, dikisahkan pula bahwanya suatu ketika ada seseorang di jalan yang
sangat yang tubuhnya kotor dan di penuhi penyakit menjijikkan meminta gendong
kyai Amin Imron, minta digendong ke gerbang pondok, tapi kyai Imron menolaknya
karena merasa jijik. Akhirnya orang tersebut meminta tolong kyai Hasyim yang
waktu itu kebetulan ada disitu. Tanpa merasa jijik kyai Hasyim menggendong
orang tersebut sampai ke gerbang pondok. Sesampainya digerbang pondok orang itu
turun dan sebelum pergi orang itu menyatakan bahwanya jika dirinya itu adalah
Nabi Khidir. kejadiantersebut dibenarkan oleh Mbah Kyai Kholil, jika orang
tersebut memang benar Nabi Khidir.
Nabi
Khidir sendiri merupakan guru spritual dari para wali-waliNya Allah di muka
bumi ini, biasanya orang-orang sholeh bertemu dengan Nabi Khidir mereka hanya
bisa berjabat tangan. Tetapi yang terjadi dengan Kyai Hasyim, Nabi Khidir sendiri
yang meminta untuk di gendong, ini merupakan suatu bentuk
keistimewaan/penghormatan (suatu hal yang jarang terjadi) Nabiyullah Khidir
minta di gendong. Tentunya karena adanya perhatian yang lebih dari Nabi Khidir
kepada Kyai Hasyim dan juga merupakan salah satu cara Allah untuk memuliakan
beliauKyai Hasyim.
Kejadian
tersebut mengisyaratkan bahwanya jika Kyai Hasyim adalah seorang pilihan yang
memiliki maqom (kedukan) yang tinggi baik secara keilmuan dan spritual. Kelak
akan menggendong (menjadi bapak) pemuka (muqoddam) bagi umat Islam di Indonesia. Dan itu pun terbukti dengan
beliau mendirikan organisasi Nahdlotul Ulama (NU) pada tahun 1926 M yang
merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan terbesar di dunia.
Beliau
pun satu-satunya ulama yang mendapatkan gelar dari para ulama sebagai Raisul Akbar (Pimpinan
terbesar)Nahdlotul Ulama (NU), setelah beliau tidak tidak yang memakai gelar
tersebut. Bahkan dalam fakta sejarah tahun 1942 dari pemerintahan Jepang waktu
di Indonesia, disitu tertuliskan bahwasanya ada kurang lebih 25.000 (dua puluh
lima ribu) ulama atau kyai seluruh Indonesia bahkan ada yang dari luar negri
pernah berguru kepada KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Oleh sebab itu para ulama
juga menggelari beliau dengan gelar Hadratus Syaikh (Maha Guru yang
Mulia).
Mbah
Kyai Kholil Bangkalan gurunya, yang dianggap sebagai pemimpin
spiritual (Qutub) para kyai di tanah Jawa sangat menghormati Kyai Hasyim. Dan
setelah Kiyai Kholil wafat, banyak para ulama yang mengatakan KH. Hasyim-lah
yang dianggap sebagai pemimpin spiritual (Qutub).
Maka
tidaklah heran jika banyak diantara santri-santri yang telah belajar
bertahun-tahun kepada Mbah Kyai Kholil bahkan santri-santri tersebut banyak
diantaranya merupakan teman dari bah Hasyim tidak jarang usianya lebih tua dari
beliau, setelah mereka belajar dari Mbah Kholil Bangkalan banyak yang
melanjutkan di makkah selama bertahun-tahun.
Setelah
mereka pulang ke Indonesia mereka masih menyempatkan diri untuk belajar lagi kepada
Mbah Kyai Hasyim Asy’ari. Hal tersebut juga di lakukan oleh ulama dan kyai – kyai
lainya setelah lama belajar di Makkah, mereka pulang ke Indonesia mereka masih belajar
lagi kepada Mbah Kyai Hasyim Asy’ari.
KH Zubair Umar al Jailani Salatiga Jawa Tengah beliau adalah salah satu
murid dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, setelah belajar kepada Mbah Kyai
Hasyim Asyari Kyai Zubair melanjutkan
pengembaraan ilmunya ke Makkah. Mbah Kyai Hasyim berpesan kepada Kyai
Zubair untuk mendalami hadits setibanya di Makkah tetapi beliau lebih tertarik
untuk memperdalam Ilmu Falak yang telah
beliau dapatkan dari Mbah Kyai Hasyim.
Keinginannya
Kyai Zubair untuk mendapatkan guru Ilmu Falak seperti Mbah Kyai Hasyim Asyari Tebuireng di Makkah
al-Mukarramah kandas. Karena saat test berlangsung, di ketahui bahwa Ilmu
beliau dalam hal falak telah jauh diatas guru yang ada di Makkah sehingga yang
terjadi guru tersebut justru yang belajar kepada Kyai Zubair
Kemudian
beliau meninggalkan Makkah dan menuju ke Madinah untuk menemui ahli falak
disana. Namun saat di Madinah, beliau juga tidak mendapatkan guru yang
diharapkan seperti Mbah Kyai Hasyim
Asyari masih belum ketemu. Kemudian beliau di sarankan untuk pergi ke Syiria
(Damaskus). Sesampainya di Syiria, hasilnya tetap sama. Hingga ahirnya beliau
melanjutkan perjalanan ke Palestina. Dan harapan beliau untuk bertemu ahli
falak disana juga masih belum terpenuhi.
Baru kemudian beliau disarankan untuk menemui seorang guru di Al-Azhar waktu itu rektornya dipegang oleh Syekh Musthafa al-Maraghi. Disinilah beliau bertemu dengan ulama yang beliau harapkan yaitu Syeikh Umar Hamdan al-Mahrasi (w.1949) dengan kitab kajian al-Matla’ al-Sa’id karya Husain Zaid al-Misri dan al-Manahij al-Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy. Data astronomis yang digunakan kitab al-Khulasah al-Wafiyah sama dengan data yang ada pada kitab al-Matla’ al-Sa’id, tetapi menggunakan epoch (mabda’) Mekkah, karena kitab tersebut dikonsep ketika KH. Zubair bermukim di Makkah.
Menurut
catatan sejarah bahwasanya Syeikh Umar Hamdan al-Mahrasi merupakan salah satu
murid dari Mbah Kyai Hasyim Asy’ari, karena Mbah Kyai Hasyim Asy’ari
sendiri juga pernah mengajar di masjidil
harom.
Al-Habib
Sayyid Muhammad Asad Syihab seorang
jurnalis asing dari Timur Tengah yang masih termasuk kakek buyut Prof. Dr.
Muhammad Quraisy Shihab, penulis biografi yang luar biasa. Di tangan beliau
pulalah lahir sebuah buku sangat monumental berjudul : “Allamah Muhammad
Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesi” (Maha guru Muhammad
Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia). Sebuah buku
berbahasa Arab yang di terbitkan di luar negri oleh Percetakan Beirut Libanon.
Hadratus
Syaikh termasuk idola saya, bagi saya Hadratus Syaikh memang lain beliau
betul-betul Maha Kyai (Al-allamah). Menurut Sayyid Muhammad Asad Syihab
"selama ini saya lebih mengenal Hadratus Syaikh lewat tulisan-tulisan
beliau sendiri, dari kisah penuturan para Kyai yang menangi (sezaman) yang
bertemu dan mengenal beliau.
Risalah kecil
Sayyid Muhammad Asad Syihab ini bagi saya sendiri mungkin meneguhkan atau
melengkapi gamabaran tentang Hadratus Syaikh : seorang Maha Kyai dalam arti
yang sebenar-benarnya sekaligus pejuang bangsa. Beliau tidak hanya memiliki
kedalaman ilmu dan tanggung jawab pengamalan serta penyebaranya namun juga
keluasan wawasan dan pandangan yang hampir tidak di miliki oleh sembarang Kyai.
Para Kyai dan
ulama di Indonesia sangatlah wajar jika menghormati beliau sebagai Raisul
akbar (pemimpin agung/tertinggi) mereka satu-satunya. Hampir semua Kyai
dari kalangan ahlus sunnah waljamaah terutama dari kalangan jami’iyah
Nahdlotul Ulama kesawaban ilmu dan ajaranya. Maka jika orang
mengitlakkan menyebutkan "Hadratus Syikh" tiada lain yang di maksud
beliau.
Dalam proses
penulisan risalah tersebut Sayyid Muhammad Asad Syihab memerlukan tinggal beberapa lama di pesantren Tebuireng
dan mengadakan beberapa kali wawancara baik dengan Hadratus Syaikh sendiri dan
maupun dengan lainya. (Oleh KH Mustofa Bisri Rembang Jawa Tengah)
KH Maimun Zubair bercerita : Jika kita telusuri sejarahnya, diantara
pondok pesantren di Indonesia ini ada saling kait-mengait. Dari situ kita bisa
mengetahui bahwa Allah swt itu ternyata mempunyai mahluq “ZAMAN”. Jadi yang dimaksud dari
maqolah “Al insan Abnau Zaman” adalah, Allah swt itu menciptakan “ZAMAN” bagi
orang yang baik-baik. Dan kebaikan “ZAMAN” ini harus diketahui oleh kita.
Pada zaman Mbah Hasyim Asy’ari, orang gak
bakalan bisa menjadi kyai besar tanpa
adanya Mbah Hasyim Asy’ari. Satu contoh
di daerah Lasem, disana itu Kyainya besar-besar, ada :
1. Mbah
Kyai Masduki
2. Mbah
Kyai Kholil Harun
3. Mbah
Kyai Ma’shum
4. Mbah
Kyai Baidhowi malah paling alim.
Dari empat
Kyai itu yang paling erat hubungannya dengan Kyai Hasyim Asy’ari adalah
MbahKyai Ma’shum. Maka tidak heran jika beliau santrinya paling banyak. Tidak
ada dalam sejarahnya, pondok pesantren yang diasuh Mbah Kyai Baidhowi Lasem itu
santrinya banyak, paling pool hanya خمسين (50),
dikarenakan hal itu memang sudah wayahe
(waktunya), itu menurut saya, jelas
Syikhul Islam Nusntara ini lebih lanjut.
Jadi waktu itu yang menjadi “ابناءالزمان“ nya adalah Mbah
Kyai Hasyim Asy’ari. Pondok yang ada di Sarang
juga begitu, seumpama Mbah saya (KH Ahmad bin Syuaib) tidak ngaji ke
Mbah Hasyim Asy’ari, yah habis pondok Sarang. Begitu juga pondok Lirboyo, jika
Mbah Kyai Manaf tidak mondok ke
Tebuireng yah habis santrinya. Pengasuh
pondok Ploso (KH Jazuli Usman), pondok Rejoso Peterongan, pondok Buntet Cirebon juga mengaji pada Mbah Kyai Hasyim
Asy’ari. Lha sekarang Abna’ az-Zaman itu berada dimana?? Wallohu A’lam, saya sendiri tidak tahu, kata Syaikhul Islam
menutup ceritanya.
Boleh jadi memang, pada zaman
Hadhrotus Syaikh Hasyim Asy’ari ada Ulama ataupun Kyai yang lebih alim atupun
lebih besar dan banyak keramatnya dibanding Hadhrotus Syaikh, akan tetapi
hampir semua mata dan telinga Masyarakat maupun segenap para Ulama pada masa
itu selalu tertuju pada dawuh, sikap, kebijakan, dan apa saja yang dilakukan Hadhrotus Syaikh, karena
beliaulah “SANG ANAK EMAS ZAMAN” dimasanya. Wallohu A’lam. (Sumber :
Buku Pesantren Lirboyo Kediri)
Wallohu
A’lam Bi Shawab
By Istana99kupu.blogspot.com
Catatan : (Kisah Kyai Hasyim dan Nabi Khidir ini
penulis dapatkan langsung dari Haji Qohar Rambipuji-Jember, beliau sendiri
mendengarkan langsung langsung dari gurunya Almarhum KH. Ali Wafa/KH. Abdul
Aziz (Pendiri Pesantren Al Wafa) Tempurejo Jember. Menurut KH. Ali Wafa/KH. Abdul Aziz cerita tersebut pernah di ceritakan oleh Mbah Kyai Kholil kepada santri-santrinya
di Bangkalan dan Mbah Kyai Kholil juga membenarkan Kisah tersebut. (KH. Ali
Wafa sendiri merupakan teman dari KH. Hasyim Asy’ari yang sama-sama santri dari
Mbah Kyai Kholil Bangkalan).
No comments:
Post a Comment