Beberapa penjelasan dari Qur'an dan Hadist yang di jelaskan oleh beberapa ulama bahwasanya mengenai sampainya bacaan Al-quran, tahlil, tahmid dll, apakah Anda percaya atau tidak, keputusan ada di tangan Anda.
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam
syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
” Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat
agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah
dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat
albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padahal imam
Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari
orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari
orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut
pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad
bin Hanbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap
kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum
muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri,
mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah
meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh
DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas
pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya
yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau
menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca
qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya
kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi
pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca
qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya
kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi
pahala sebanyak orang yang mati disitu”. (Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah
membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu
Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau
bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan
kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin Ahmad al-Marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika
kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan
an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya
pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu
berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah
aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh AIi bin Muhammad Bin Abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya
kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan
sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah
Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu Taymiyah :
“sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan
ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin
wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk
fatawa jilid 24 pada halaman 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang
bertahlil, bertasbih,bertahmid ,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut
kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai
kepada si mayat dan juga tasbih,takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan
pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.
maka dii atas pula adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juz 24 pada
halaman 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali
dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan
itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu Qayyim al-Jauziyah:
“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit
adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun
membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan
tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji
juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh
: “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an
disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad
ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami
Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin
al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang
lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping
kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama :
“Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku
Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata :
“Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi
menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk
disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad
kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”.
Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada
imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang
Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah
(terpercaya) , apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin
qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la
bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar
dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia
berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”.
Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada
lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Syaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan
Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap
orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain
demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya
kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam Sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara
mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil
membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh
ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh Ali Ma’sum : “Dalam madzab maliki
tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut
dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh
dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai
kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”.
(hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-Arobi: Sesungguhnya
membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh
(Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha
islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat
yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata Imam Qurthubi : “telah ijma’ ulama atas
sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula
pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena
masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu
ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi
halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang
menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit
(muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena
khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam Syafii
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan
imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an
para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan
sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan
juga Ashab Syafi’i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah
si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si
fulan…….”
Disebutkan dalam al-Majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu
Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur,
pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai
apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan
seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh
berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka
kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih
utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab
syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai Qaul Masyhur tersebut pengarang
kitab Fathul Wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-Anshari mengatakan dalam kitabnya
Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai Qaul yang Masyhur dalam
Madzab Syafi’i itu dibawa atas pengertian : “Jika al-Qur’an itu tidak dibaca
dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu
Syaikh Sulaiman al-Jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67
:
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan
jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping
kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar
pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu
kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Ahmad bin
Qasim al-Ubadi dalam Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala
bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada
mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka
hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi
orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih
terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi
pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian
ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut
Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah
pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga :
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan
orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456
bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya
pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak
dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh
manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu
kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang
yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari
tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu
miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat
(intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam
kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang
tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh
manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap
digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala.
Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua
jawaban untuk ayat tersebut :
1). Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun
memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa
isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang
cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan
yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan
masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan
islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari
masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini
maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu
penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk
memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain.
Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari
sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian
pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian
dari usahanya sendiri).
2). Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya
kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu
hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT
hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki
kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah
milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh
memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya
untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah
“lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab
syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa.
Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala
dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada
syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad
SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam
kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat
oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra.
Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya
dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka
anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang
dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai
penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya
sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka
mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan
mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang
terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu
sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa
kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi
keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli),
maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39.
Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan
denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak
sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang
ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai
sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-Baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan
kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan
menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu
balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan) . Oleh karena itu artinya
cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya
demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan
dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh
harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan
memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau
hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat
tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau
seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa
yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala
terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi
sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang
mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut
dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab
kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab
amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
Kita harus jujur dalam menyampaikan sesuatu dan harus
adil, bahwa memang terdapat perbedaan dalam hal sampainya bacaan Qur’an kepada
mayyit. Jangan seperti artikel-artikel yang banyak kita jumpai disitus-situs
yang mengaku sebagai pengikut salaf, tapi dalam menyampaikan keterangan tidak
pernah adil, sehingga yang ditampilkan adlah pendapat yang mendukung
kefanatikannya dan menafikan adanya pendapat yang lain padahal pendapat itu
lebih kuat.
Semoga dengan ini bisa memberikan gambaran yang benar
mengenai pembahasan sampainya bacaan Qur’an kepada mayyit. Mari gencarkan
membaca Qur’an dan hadiahkan kepada kakek-nenek, bapak-ibu kita, saudara kita,
dan keluarga kita serta kaum Muslimin yang wafat mendahului kita. Semoga Allah
tidak membekukan hati kita. Amin
Oleh Auliana Moslem. (kutip Shalahuddin Al-Ayyubi
(1137 – 1193 M))
No comments:
Post a Comment