Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, Tgl 14 Januari 2014 (12 Rabiul awal 1435 H), Peringatan Maulid sendiri pertama kali dilakukan oleh
raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada
awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Sultan
Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau
merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,`
alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”. Dijelaskan oleh Sibth
(cucu) Ibn al-Jauzi bahawa dalam peringatan tersebut Sultan al-Muzhaffar
mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin
ilmu, baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang
ilmu kalam, ulama’ usul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari,
sebelum hari pelaksanaan mawlid Nabi beliau telah melakukan berbagai persiapan.
Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir
dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama’ saat itu membenarkan
dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan al-Muzhaffar tersebut. Mereka
semua berpandang dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang dibuat untuk
pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan
menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Moroco menuju Syam
dan seterusnya ke Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijrah,
beliau mendapati Sultan al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar
perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh kerana itu, al-Hafzih Ibn
Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul
“al-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan
kepada Sultan al-Muzhaffar.
Para ulama’, semenjak zaman Sultan al-Muzhaffar dan
zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahawa perayaan maulid
Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah
menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H),
al-Hafizh al-’Iraqi (W. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani (W. 852 H),
al-Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al-Hafizh aL-Sakhawi (W. 902 H), SyeIkh Ibn
Hajar al-Haitami (W. 974 H), al-Imam al-Nawawi (W. 676 H), al-Imam al-`Izz ibn
`Abd al-Salam (W. 660 H), mantan mufti Mesir iaitu Syeikh Muhammad Bakhit
al-Muthi’i (W. 1354 H), Mantan Mufti Beirut Lubnan iaitu Syeikh Mushthafa Naja
(W. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan
al-Imam al-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn
al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa
dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh dunia,
dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn
al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya
telah bersepakat menyatakan bahawa orang yang pertama kali mengadakan peringatan
maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang
yang mengatakan bahawa sultan Salahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan
Maulid Nabi telah membuat “fitnah yang jahat” terhadap sejarah. Perkataan
mereka bahawa sultan Salahuddin membuat maulid untuk tujuan membangkitkan
semangat umat untuk berjihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk
tujuan seperti ini bererti telah menyimpang, adalah perkataan yang sesat lagi
menyesatkan.
Perayaan di
Indonesia
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi
dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi,
pembacaan syairBarzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud,
dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelanSekaten.
Perayaan di
luar negeri
Perayaan Maulid diIndia.
Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di
dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul
Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga
bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.
Maulid dirayakan pada banyak negara dengan penduduk
mayoritas Muslim di dunia, serta di negara-negara lain di mana masyarakat
Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya antara lain di India, Britania, Rusia[1] dan Kanada.[2] [3] [4] [5] [6][7] [8] [9][10] Arab Saudi adalah satu-satunya negara
dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari
libur resmi.[11] Partisipasi dalam ritual
perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang sebagai ekspresi dari rasa
keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para penganutnya.[12]
Perkiraan
tanggal Maulid, 2010-2013* [13]
|
||
Tahun Masehi
|
12 Rabiul
Awal (Sunni)
|
17 Rabiul
Awal (Syiah)
|
2010
|
26 Februari
|
3 Maret
|
2011
|
15 Februari
|
20 Februari
|
2012
|
5 Februari
|
10 Februari
|
2013
|
24 Januari
|
29 Januari
|
2014
|
14 Januari
|
19 Januari
|
* Semua tanggal adalah perkiraan, karena
tanggal aktual dapat berbeda sesuai dengan penetapan awal bulan (kalender) berdasarkan pengamatan fisik terhadap rembulan
(benda astronomi).
|
Hari Maulid Nabi, karena bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal dalam
kalender hijriah. Kata “Maulid” berasal dari bahasa Arab yang bermakna
kelahiran. Meskipun Nabi tidak pernah menyuruh umat Islam untuk memperingati
hari kelahiran beliau, tetapi umat beliau memperingatinya sebagai salah satu
bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap sosok beliau, sekaligus mengambil
spirit pembebasan yang beliau gelorakan hingga akhir hayatnya.
Latar kelahiran
Dalam bukunya, _Agama-agama Manusia _(2001), Huston Smith menyebutkan bahwa
kondisi dunia sekitar di saat kelahiran Nabi Muhammad digambarkan kaum muslimin
sesudahnya dengan satu kata saja: biadab, hidup dalam padang pasir tidak pernah
damai dan tenang. Kaum badui hampir tidak pernah merasa ada tanggung jawab pada
siapa pun di luar kabilahnya.
Kurangnya harta benda dan sifat bermusuhan satu sama lain yang selalu dikobarkan oleh teriknya matahari menyebabkan perampokan melembaga di kawasan itu dan merupakan bukti dari kejantanan.
Dalam abad ke-6 M, kemacetan kehidupan politik dan runtuhnya kewibawaan para penegak hukum dalam kota utama Mekah semakin memperburuk keadaan yang memang sudah rusak. Pesta mabuk-mabukan yang sering dengan perkelahian dan pertumpahan darah merupakan kejadian sehari-hari.
Hasrat bermain judi yang selalu kuat terdapat di kalangan kaum pengembara, berkembang tanpa terkendali, sehingga meja judi di kota Mekah amat ramai sepanjang malam.
Perempuan-perempuan penari berpindah dari satu tenda ke tenda lain untuk membakar nafsu putra padang pasir yang bergelora itu. Sementara itu agama yang dianut orang banyak tidak mampu memberikan kedali apa pun atas keadaan itu. Agama yang amat tepat dinamakan sebagai suatu politeisme animis, mendiami padang pasir itu dengan roh yang bersifat hewani yang disebut jin atau setan. Walaupun jin-jin itu merupakan wujud dari ancaman padang pasir itu secara fantastis, tidak ada bukti bahwa jin-jin itu menghilhami timbulnya dorongan beragama yang sungguh-sungguh, apalagi suatu perilaku moral.
Secara keseluruhan, kondisi seperti itu sudah dapat diduga akan melahirkan suatu arus bawah ibarat api dalam sekam, yang akan meletus dalam bentuk perkelahian secara mendadak serta permusuan yang timbul dan berlanjut turunan demi turunan, yang akan berlangsung sampai puluhan tahun. Waktunya telah tiba untuk datangnya seorang pembebas. Dialah Nabi Muhammad.
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam bukunya, _Ketika Bulan Terbelah, Jejak Biografi Nabi Muhammad _(2012) menyebutkan, Nabi Muhammad lahir di _syi’ib_ (lembah) Bani Hasyim, Mekah, pada tanggal 9 atau 12 Rabiul Awal, 50 atau 55 hari setelah kegagalan serangan Abrahah, Raja Abessinia, atas Ka’bah. Tanggal itu bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M.
Spirit Pembebasan
Nabi Muhammad lahir dalam latar seperti digambarkan Smith tadi. Alquran menyebut beliau sebagai rahmat bagi alam semesta. “Dan, tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’[21]: 107). Ibnu Katsir dalam _Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim_-nya mengatakan, Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi semua orang, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.
Hanya saja, siapa pun yang menerima rahmat itu dan mensyukurinya, maka ia akan bahagia di dunia dan di akhirat. Dan, siapa saja yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merana di dunia dan di akhirat.
Menjadi rahmat berarti menjadi pembebas. Karen Armstrong dalam bukunya _Muhammad: A Biography of the Prophet_ menyebut_ _Muhammad adalah sosok istimewa karena membawa pesan Tuhan kepada umat manusia yang sebenarnya misi itu tidak mudah dilakukan. Sebab, masyarakat Arab di mana beliau berada pada saat itu hidup dalam masa jahiliah. Sebuah situasi di mana masyarakat—seperti disebutkan di dalam Kitab Suci Alquran—tenggelam dalam alam “kegelapan” (_zulumat_).
Jalaluddin Rahmat dalam bukunya, _Peranan Agama dalam Masyarakat yang Membangun: Perspektif Islam_, ada tiga bentuk “kegelapan”: _pertama_, tidak tahu syariat; _kedua_, melanggar syariat; dan _ketiga_, penindasan. Misi Islam dengan demikian adalah untuk menyampaikan syariat, meluruskan pelanggaran syariat, dan membebaskan manusia dari penindasan, baik itu penindasan sosial, politik, ekonomi, maupun keyakinan. Misi yang sama diusung oleh para nabi dan rasul sebelum Muhammad.
Selama lebih kurang 23 tahun—13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah—Nabi berjuang dengan segala upaya untuk membebaskan masyarakat dari krisis agama, moral, sosial, politik, dan ekonomi. Beliau berusaha mengeluarkan mereka dari gulita itu menuju alam terang-benderang, dalam kehidupan yang modern.
Kurangnya harta benda dan sifat bermusuhan satu sama lain yang selalu dikobarkan oleh teriknya matahari menyebabkan perampokan melembaga di kawasan itu dan merupakan bukti dari kejantanan.
Dalam abad ke-6 M, kemacetan kehidupan politik dan runtuhnya kewibawaan para penegak hukum dalam kota utama Mekah semakin memperburuk keadaan yang memang sudah rusak. Pesta mabuk-mabukan yang sering dengan perkelahian dan pertumpahan darah merupakan kejadian sehari-hari.
Hasrat bermain judi yang selalu kuat terdapat di kalangan kaum pengembara, berkembang tanpa terkendali, sehingga meja judi di kota Mekah amat ramai sepanjang malam.
Perempuan-perempuan penari berpindah dari satu tenda ke tenda lain untuk membakar nafsu putra padang pasir yang bergelora itu. Sementara itu agama yang dianut orang banyak tidak mampu memberikan kedali apa pun atas keadaan itu. Agama yang amat tepat dinamakan sebagai suatu politeisme animis, mendiami padang pasir itu dengan roh yang bersifat hewani yang disebut jin atau setan. Walaupun jin-jin itu merupakan wujud dari ancaman padang pasir itu secara fantastis, tidak ada bukti bahwa jin-jin itu menghilhami timbulnya dorongan beragama yang sungguh-sungguh, apalagi suatu perilaku moral.
Secara keseluruhan, kondisi seperti itu sudah dapat diduga akan melahirkan suatu arus bawah ibarat api dalam sekam, yang akan meletus dalam bentuk perkelahian secara mendadak serta permusuan yang timbul dan berlanjut turunan demi turunan, yang akan berlangsung sampai puluhan tahun. Waktunya telah tiba untuk datangnya seorang pembebas. Dialah Nabi Muhammad.
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam bukunya, _Ketika Bulan Terbelah, Jejak Biografi Nabi Muhammad _(2012) menyebutkan, Nabi Muhammad lahir di _syi’ib_ (lembah) Bani Hasyim, Mekah, pada tanggal 9 atau 12 Rabiul Awal, 50 atau 55 hari setelah kegagalan serangan Abrahah, Raja Abessinia, atas Ka’bah. Tanggal itu bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M.
Spirit Pembebasan
Nabi Muhammad lahir dalam latar seperti digambarkan Smith tadi. Alquran menyebut beliau sebagai rahmat bagi alam semesta. “Dan, tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’[21]: 107). Ibnu Katsir dalam _Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim_-nya mengatakan, Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi semua orang, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.
Hanya saja, siapa pun yang menerima rahmat itu dan mensyukurinya, maka ia akan bahagia di dunia dan di akhirat. Dan, siapa saja yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merana di dunia dan di akhirat.
Menjadi rahmat berarti menjadi pembebas. Karen Armstrong dalam bukunya _Muhammad: A Biography of the Prophet_ menyebut_ _Muhammad adalah sosok istimewa karena membawa pesan Tuhan kepada umat manusia yang sebenarnya misi itu tidak mudah dilakukan. Sebab, masyarakat Arab di mana beliau berada pada saat itu hidup dalam masa jahiliah. Sebuah situasi di mana masyarakat—seperti disebutkan di dalam Kitab Suci Alquran—tenggelam dalam alam “kegelapan” (_zulumat_).
Jalaluddin Rahmat dalam bukunya, _Peranan Agama dalam Masyarakat yang Membangun: Perspektif Islam_, ada tiga bentuk “kegelapan”: _pertama_, tidak tahu syariat; _kedua_, melanggar syariat; dan _ketiga_, penindasan. Misi Islam dengan demikian adalah untuk menyampaikan syariat, meluruskan pelanggaran syariat, dan membebaskan manusia dari penindasan, baik itu penindasan sosial, politik, ekonomi, maupun keyakinan. Misi yang sama diusung oleh para nabi dan rasul sebelum Muhammad.
Selama lebih kurang 23 tahun—13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah—Nabi berjuang dengan segala upaya untuk membebaskan masyarakat dari krisis agama, moral, sosial, politik, dan ekonomi. Beliau berusaha mengeluarkan mereka dari gulita itu menuju alam terang-benderang, dalam kehidupan yang modern.
Dalam ungkapan Robert N Bellah (Beyond Belief, 1976), tatanan masyarakat
yang dibangun Nabi Muhammad adalah salah satu contoh nyata masyarakat
berperadaban modern. Bahkan, untuk konteks masa itu (Arab), terlalu modern.
Sehingga, setelah beliau wafat, tatanan itu tidak bisa bertahan lama.
Bagi bangsa ini, memperingati Maulid Nabi berarti merealisasikan spirit pembebasan untuk melakukan perubahan kondisi bangsa dari keterpurukan di hampir segala bidang dan lini kehidupan agar ke depan bangsa ini keluar dari krisis, dan menjadi bangsa yang maju. Semoga.
*Penulis buku "Percikan-percikan Hikmah Sejarah Nabi" (Quanta, 2013)
Bagi bangsa ini, memperingati Maulid Nabi berarti merealisasikan spirit pembebasan untuk melakukan perubahan kondisi bangsa dari keterpurukan di hampir segala bidang dan lini kehidupan agar ke depan bangsa ini keluar dari krisis, dan menjadi bangsa yang maju. Semoga.
*Penulis buku "Percikan-percikan Hikmah Sejarah Nabi" (Quanta, 2013)
Akhlak adalah
salah satu dasar dalam Islam. Orang awam biasanya hanya mengenal 2 pondasi
Islam, yaitu iman dan islam. Namun, ada satu hal terpenting lagi yang menjadi
pondasi dari Islam, yaitu ihsan. Perbuatan baik, atau ihsan harus selalu kita
ingat sebagai salah satu dasar agama Islam. Dan dalam ihsan tersebut terselip
akhlakul karimah, salah satu sifat Rasulullah SAW.
Suatu hari, Rasul pernah ditanya oleh sahabatnya. “Ya Rasul, apakah inti
Islam?” Rasul menjawab, “Inti Islam adalah Akhlakul Karimah, Akhlakul Karimah,
Akhlakul Karimah”. Kemudian Rasul ditanya lagi, “Ya Rasul, apa inti akhlak?”,
dijawab oleh Rasul, ”1. Jangan berdusta, 2. Tepati janji, 3. Amanah, 4.
Istiqomah”.
Tiga kali Rasul mengulang kata akhlakul karimah. Itu menunjukkan bahwa
akhlak sangat penting dalam perkembangan Islam. Dan hal itu telah dibuktikkan
oleh Rasul sendiri. Dalam suatu kisah, para pembesar kaum Quraisy tetap
menghormati Rasul sebagai orang yang mulia akhlaknya. Mereka tetap menitipkan
barang dagangannya walaupun mereka menentang Rasul yang membawa risalah Islam.
Dan saat Rasul hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar, Rasul pun menitipkan semua
barang yang pernah dititipkan oleh kaum Quraisy kepada Ali bin Abi Thalib untuk
dikembalikan kepada Kaum Quraisy. Subhanallah, bahkan Rasul pun tetap berbuat
baik kepada kaum yang memusuhinya.
Dalam kisah lain diceritakan saat sedang dalam suatu majelis di dalam
masjid. Ada salah seorang sahabat kentut dan itu menyebabkan satu dengan yang
lain saling menuduh dan menyebabkan majelis itu tidak kondusif dalam beberapa
saat. Rasul dengan kebijaksanaannya pun memerintahkan semua orang untuk
berwudhu karena akan membaca Quran bersama-sama. Solusi dari Rasul itupun
menjadikan majelis kembali kondusif dan tanpa ada orang yang tertuduh
sekalipun. Sungguh mulianya akhlak Rasul, sampai menutup aib saudaranya.
Dalam suatu majelis yang lain, Rasul sedang berbincang bersama
sahabatnya. Saat itu, seorang nenek yahudi datang dengan membawa jeruk. Nenek
yahudi itupun memberikan jeruk tersebut kepada Rasul dan meminta Rasul untuk
memakannya sekarang juga. Rasul pun menerima jeruk itu, memang dari tampilan
fisik, jeruk itu terlihat sangatlah segar dan manis. Namun, sebenarnya jeruk
itu adalah salah satu jenis jeruk yang termasam. Rasul mengupas jeruk itu, dan memakannya
hingga habis. Terimakasih pun diucapkan kepada Rasul atas pemberian nenek
yahudi tersebut. Setelah nenek yahudi pergi, sahabat pun bertanya. Karena
memang tidak biasanya Rasul tidak membagi makanannya kepada para sahabatnya.
Dan kali ini, Rasul memakan jeruk itu sendirian. Rasul pun menjawab, bahwa rasa
jeruk tersebut sangatlah masam, dan Rasul khawatir jika para sahabat memakan
jeruk itu maka sahabat tidak bisa menahan rasa masamnya jeruk itu dan
menyebabkan nenek yahudi menjadi sakit hati karenanya. Sehingga Rasul memakan
jeruk itu sendirian karena Rasul bisa menahan rasa masam jeruk itu.
Subhanallah, sungguh mulia akhlak Rasul kita. Beliau selalu berbuat baik
kepada semua orang. Rasul juga selalu berusaha menjaga perasaan orang lain.
Jangan berdusta, tepati janji, amanah, dan selalu istiqomah menjalankannya
menjadi pedoman kita dalam berbuat.
Generasi muda adalah generasi harapan bangsa. Dimana akhlak yang baik
akan selalu menjaga kita dalam segala pergaulan yang akan dijalani. Mulailah
dari diri sendiri, perbaiki akhlak kita. Memang kita tidak akan pernah menyamai
Rasul dalam hal apapun, namun setidaknya, kita perlu meneladani akhlakul
karimah yang sudah beliau terapkan.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS.
al-Ahzab: 21).
NABI Muhammad saw, adalah Rasul terakhir (khataman nabiyin wa al-mursalin), beliau diutus untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya, dan menjadi rahmatan lil ‘alamîn. Karenanya Islam yang beliau bawa, misinya universal dan abadi. Universal artinya untuk seluruh manusia dan abadi maksudnya sampai ke akhir zaman.
Kehadiran dan keberadaan Nabi Muhammad saw, selaku personifikasi wahyu yang berada dalam ruang dan waktu tertentu (limited), telah berhasil memformat, membangun dan mengembangkan ajaran-ajarannya setelah berinteraksi dengan situasi, kondisi, kultur, tradisi, karakter alam dan konstruksi sosial masyarakat Arab yang sangat partikularistik. Beliau sendiri bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Dalam diri Muhammad saw, sarat dengan nilai moral dan akhlaqul karîmah. Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada ‘Aisyah ra, tentang sifat-sifat Rasulullah, Aisyah dengan perasaan terharu, mengatakan bahwa khuluquhu Alquran, akhlaq Rasulullah adalah Alquran.
Pesan-pesan moral
Dari beberapa hal tersebut setidaknya mengandung makna substantif; Pertama, Rasulullah dapat dipandang sebagai the living Quran, personifikasi pesan-pesan Alquran, sejak beliau mendapat wahyu dari Allah. Alquran menyebut beliau dengan kata kunci, uswatun hasanah (suri teladan yang baik), dan; Kedua, mengandung pengertian bahwa sebagian besar kandungan Alquran merupakan sarat dengan muatan akhlaqul karimah, bahkan dari hasil penelitian menyebutkan 90% lebih isi kandungan Alquran merupakan pesan-pesan akhlak dan moralitas.
Alquran, sebagai sistem nilai seperti dijelaskan bersifat universal, mencakup semua aspek likulli hal wa al-zaman. Proses interaksi yang intens antara universalitas Alquran dan partikularitas kultur asli masyarakat Arab itulah sebuah realitas dimulainya “pembangunan manusia yang sangat ideal” (khaira ummah), berbasis moralitas Islami, dengan konstruksi syariah kaffah.
Pembangunan yang berasaskan akhlaq dan moral, merupakan prinsip-prinsip dalam mengubah (taghyîr) dari prilaku yang tidak terpuji kepada yang mulia, sesuai penegasanya, untuk menyempurnakan akhlak manusia. Yang menjadi penekanan beliau dan program prioritas adalah berupaya merehabilitir manusia lebih diutamakan dan selanjutnya memperbaiki kondisi kehidupan dunia, yang saat itu dinilai sudah sangat parah dan kronis.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sesuai konsep Islam manusia harus lebih dulu diperbaiki, menjadi baik, kemudian baru bisa dan dapat menggagas kebaikan dunia dan masyarakat secara menyeluruh. Konsep yang ditawarkan Islam tentu sangat bertentangan dengan versi Barat (nonmuslim) saat ini, yang lebih mengutamakan rehabilitasi alamnya dari pada manusia, maka tidaklah heran munculnya berbagai pranata sosial baik di bidang hukum, keadilan, hak-hak asasi manusia yang tidak sejalan dengan asas-asas syariah dan lain-lain.
Melalui uswatun hasanah yang demikian menyatu dalam diri Muhammad, yang sejak usia remaja dikenal dengan sebutan al-Amin, telah mampu membawa perubahan besar bagi jazirah Arab yang saat itu dijuluki dengan jahiliyah, didominasi superioritas kuffar Quraisy, yang akhirnya tidak berdaya untuk menghambat dan menolak pesan-pesan moral yang dibawanya, di samping sarat dengan nilai-nilai Ilahiyah.
Melalui penanaman nilai akidah (imani) semakin meningkatkan harkat dan martabat jati diri manusia yang sebelumnya sudah berada pada dataran binatang. Dengan demikian secara evolusi telah menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap agamanya, karena nilai iman dan malu. Budaya malu itu sendiri diabstraksikan secara kaffah dalam wujud masyarakat ideal lewat jalur mentalitas akhlak, al-hayau minal iman, Budaya malu itu sesungguhnya merupakan sebagai dari (tolok ukur) kualitas iman seseorang” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan beliau menegaskan malu dan iman itu padanan yang serasi, bila salah satunya hilang, hilanglah kedua-duanya.
Prinsip berikutnya adalah penekanan pada ‘ubudiyah, yaitu kegiatan rutinitas pendekatan diri dalam hubungan dengan khalik-Nya. Ibadah (dalam arti ritual) dapat dijadikan sarana untuk mencapai tingkat kedekatan (taqarrub) dengan Allah melalui ibadahnya (baca: shalat), akan menjadi sebuah “kekuatan potensial” dan sumber energi bagi dirinya.
Itulah contoh dari pribadi Rasulullah dan para sahabatnya. Kedisiplinan dalam mendirikan shalat misalnya menjadi perhatian khusus bagi para sahabatnya, sehingga terucap kalimat: “Mengapa anda sangat rajin beribadah, padahal Allah telah menjamin anda seorang ma’shum dan dijamin masuk surga? Jawaban Rasulullah hanya singkat: bukankah anda melihat saya ini sebagai salah seorang hamba Allah yang paling banyak bersyukur.”
Konsisten dan tegas
Suatu ketika Rasul mendapat informasi, seorang pejabatnya yaitu Ibnu Luthbiyah (petugas Amil Zakat) menerima hadiah dari seseorang, lalu ia dipanggil: “Bagaimana anda menerima sesuatu yang bukan hakmu? Luthbiyah menjawab: Itu hadiah Ya Rasulullah, bukan suapan. Selanjutnya Rasulullah dengan nada marah berkata: Adakah seseorang yang duduk di rumahnya akan menerima sesuatu atau hadiah itu, sedang dia tidak diberi hak (jabatan) dari kita. Selanjutnya Rasulullah memerintahkannya untuk menyerahkan ke Baitul Mal dan pejabat tersebut dipecat.
Dari kasus tersebut setidaknya ada tiga hal yang dapat diambil; Pertama, terungkap bahwa Ibn Luthbiyah telah melakukan manipulasi data zakat; Kedua, menunjukkan tidak bolehnya seorang pejabat mengambil upah dalam menjalankan suatu pekerjaan, karena tugas tersebut sudah menjadi kewajibannya dan ia sudah digaji oleh negara, dan; Ketiga, seseorang dilarang memberi hadiah kepada pejabat atau hakim karena jabatannya, sehingga menimbulkan ketidakadilan.
Dalam waktu lain, Rasulullah saw, menerima delegasi yang dipimpin Usamah bin Zaid, untuk memohon keringanan hukuman seorang pencuri perempuan dari suku Makhzûmiyah. Permintaan maaf itu dilakukan karena perempuan tersebut berasal dari suku terhormat, dan Usamah, dianggap lebih pantas menemui Rasulullah. Tetapi Rasulullah dengan nada kesal, mengatakan kepada Usamah, apakah kamu ingin mengubah dan meringankan hukuman yang telah ditentukan Allah?
Lalu, Rasulullah saw berdiri dan bersabda: “Bahwasanya binasanya umat sebelum kamu, apabila yang mencuri dari kalangan orang terpandang, mereka biarkan, dan apabila yang mencuri dari kalangan rakyat biasa, mereka tegakkan hukumnya. Demi diriku dalam gengaman Allah, sekiranya Fatimah anakku mencuri, sungguh aku potong tangannya,” (HR. Bukhari dari `Aisyah ra).
Prinsip keadilan seperti itu pula, telah mengundang banyak orang, memilih Islam sebagai agamanya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Penegasan Rasulullah tersebut, juga telah mendidik kita agar dalam menetapkan hukum, tidak boleh bersikap diskriminasi, sekalipun untuk keluarga sendiri, yang benar tetap benar, dan yang salah tetap salah. Bila di zaman sekarang setiap aparat penegak hukum bersikap adil dalam memutuskan perkara, sungguh betapa indah dan nyamannya bagi setiap pencari keadilan.
Rasulullah saw, memiliki sikap tegas terhadap orang kuffar (asyiddau ‘alal kuffar), artinya menyangkut akidah beliau tidak ada kompromi dan tidak ada toleransi (tasamuh). Lakum dînukum waliyadîn, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tetapi terhadap sesama mereka (umat Islam), beliau bersikap ruhamau bainahum, diliputi penuh kasih sayang.
Sikap tegas yang beliau lakukan tidaklah membabi buta, menghantam siapa saja, tetapi senantiasa dihadapi dengan hikmah (bijaksana) dan lemah lembut (linta lahum). Karena sifat lemah lembut ini pula yang mengundang rasa hormat dan simpatik terhadap beliau dari semua elemen masyarakat era itu. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam: 4).
NABI Muhammad saw, adalah Rasul terakhir (khataman nabiyin wa al-mursalin), beliau diutus untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya, dan menjadi rahmatan lil ‘alamîn. Karenanya Islam yang beliau bawa, misinya universal dan abadi. Universal artinya untuk seluruh manusia dan abadi maksudnya sampai ke akhir zaman.
Kehadiran dan keberadaan Nabi Muhammad saw, selaku personifikasi wahyu yang berada dalam ruang dan waktu tertentu (limited), telah berhasil memformat, membangun dan mengembangkan ajaran-ajarannya setelah berinteraksi dengan situasi, kondisi, kultur, tradisi, karakter alam dan konstruksi sosial masyarakat Arab yang sangat partikularistik. Beliau sendiri bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Dalam diri Muhammad saw, sarat dengan nilai moral dan akhlaqul karîmah. Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada ‘Aisyah ra, tentang sifat-sifat Rasulullah, Aisyah dengan perasaan terharu, mengatakan bahwa khuluquhu Alquran, akhlaq Rasulullah adalah Alquran.
Pesan-pesan moral
Dari beberapa hal tersebut setidaknya mengandung makna substantif; Pertama, Rasulullah dapat dipandang sebagai the living Quran, personifikasi pesan-pesan Alquran, sejak beliau mendapat wahyu dari Allah. Alquran menyebut beliau dengan kata kunci, uswatun hasanah (suri teladan yang baik), dan; Kedua, mengandung pengertian bahwa sebagian besar kandungan Alquran merupakan sarat dengan muatan akhlaqul karimah, bahkan dari hasil penelitian menyebutkan 90% lebih isi kandungan Alquran merupakan pesan-pesan akhlak dan moralitas.
Alquran, sebagai sistem nilai seperti dijelaskan bersifat universal, mencakup semua aspek likulli hal wa al-zaman. Proses interaksi yang intens antara universalitas Alquran dan partikularitas kultur asli masyarakat Arab itulah sebuah realitas dimulainya “pembangunan manusia yang sangat ideal” (khaira ummah), berbasis moralitas Islami, dengan konstruksi syariah kaffah.
Pembangunan yang berasaskan akhlaq dan moral, merupakan prinsip-prinsip dalam mengubah (taghyîr) dari prilaku yang tidak terpuji kepada yang mulia, sesuai penegasanya, untuk menyempurnakan akhlak manusia. Yang menjadi penekanan beliau dan program prioritas adalah berupaya merehabilitir manusia lebih diutamakan dan selanjutnya memperbaiki kondisi kehidupan dunia, yang saat itu dinilai sudah sangat parah dan kronis.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sesuai konsep Islam manusia harus lebih dulu diperbaiki, menjadi baik, kemudian baru bisa dan dapat menggagas kebaikan dunia dan masyarakat secara menyeluruh. Konsep yang ditawarkan Islam tentu sangat bertentangan dengan versi Barat (nonmuslim) saat ini, yang lebih mengutamakan rehabilitasi alamnya dari pada manusia, maka tidaklah heran munculnya berbagai pranata sosial baik di bidang hukum, keadilan, hak-hak asasi manusia yang tidak sejalan dengan asas-asas syariah dan lain-lain.
Melalui uswatun hasanah yang demikian menyatu dalam diri Muhammad, yang sejak usia remaja dikenal dengan sebutan al-Amin, telah mampu membawa perubahan besar bagi jazirah Arab yang saat itu dijuluki dengan jahiliyah, didominasi superioritas kuffar Quraisy, yang akhirnya tidak berdaya untuk menghambat dan menolak pesan-pesan moral yang dibawanya, di samping sarat dengan nilai-nilai Ilahiyah.
Melalui penanaman nilai akidah (imani) semakin meningkatkan harkat dan martabat jati diri manusia yang sebelumnya sudah berada pada dataran binatang. Dengan demikian secara evolusi telah menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap agamanya, karena nilai iman dan malu. Budaya malu itu sendiri diabstraksikan secara kaffah dalam wujud masyarakat ideal lewat jalur mentalitas akhlak, al-hayau minal iman, Budaya malu itu sesungguhnya merupakan sebagai dari (tolok ukur) kualitas iman seseorang” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan beliau menegaskan malu dan iman itu padanan yang serasi, bila salah satunya hilang, hilanglah kedua-duanya.
Prinsip berikutnya adalah penekanan pada ‘ubudiyah, yaitu kegiatan rutinitas pendekatan diri dalam hubungan dengan khalik-Nya. Ibadah (dalam arti ritual) dapat dijadikan sarana untuk mencapai tingkat kedekatan (taqarrub) dengan Allah melalui ibadahnya (baca: shalat), akan menjadi sebuah “kekuatan potensial” dan sumber energi bagi dirinya.
Itulah contoh dari pribadi Rasulullah dan para sahabatnya. Kedisiplinan dalam mendirikan shalat misalnya menjadi perhatian khusus bagi para sahabatnya, sehingga terucap kalimat: “Mengapa anda sangat rajin beribadah, padahal Allah telah menjamin anda seorang ma’shum dan dijamin masuk surga? Jawaban Rasulullah hanya singkat: bukankah anda melihat saya ini sebagai salah seorang hamba Allah yang paling banyak bersyukur.”
Konsisten dan tegas
Suatu ketika Rasul mendapat informasi, seorang pejabatnya yaitu Ibnu Luthbiyah (petugas Amil Zakat) menerima hadiah dari seseorang, lalu ia dipanggil: “Bagaimana anda menerima sesuatu yang bukan hakmu? Luthbiyah menjawab: Itu hadiah Ya Rasulullah, bukan suapan. Selanjutnya Rasulullah dengan nada marah berkata: Adakah seseorang yang duduk di rumahnya akan menerima sesuatu atau hadiah itu, sedang dia tidak diberi hak (jabatan) dari kita. Selanjutnya Rasulullah memerintahkannya untuk menyerahkan ke Baitul Mal dan pejabat tersebut dipecat.
Dari kasus tersebut setidaknya ada tiga hal yang dapat diambil; Pertama, terungkap bahwa Ibn Luthbiyah telah melakukan manipulasi data zakat; Kedua, menunjukkan tidak bolehnya seorang pejabat mengambil upah dalam menjalankan suatu pekerjaan, karena tugas tersebut sudah menjadi kewajibannya dan ia sudah digaji oleh negara, dan; Ketiga, seseorang dilarang memberi hadiah kepada pejabat atau hakim karena jabatannya, sehingga menimbulkan ketidakadilan.
Dalam waktu lain, Rasulullah saw, menerima delegasi yang dipimpin Usamah bin Zaid, untuk memohon keringanan hukuman seorang pencuri perempuan dari suku Makhzûmiyah. Permintaan maaf itu dilakukan karena perempuan tersebut berasal dari suku terhormat, dan Usamah, dianggap lebih pantas menemui Rasulullah. Tetapi Rasulullah dengan nada kesal, mengatakan kepada Usamah, apakah kamu ingin mengubah dan meringankan hukuman yang telah ditentukan Allah?
Lalu, Rasulullah saw berdiri dan bersabda: “Bahwasanya binasanya umat sebelum kamu, apabila yang mencuri dari kalangan orang terpandang, mereka biarkan, dan apabila yang mencuri dari kalangan rakyat biasa, mereka tegakkan hukumnya. Demi diriku dalam gengaman Allah, sekiranya Fatimah anakku mencuri, sungguh aku potong tangannya,” (HR. Bukhari dari `Aisyah ra).
Prinsip keadilan seperti itu pula, telah mengundang banyak orang, memilih Islam sebagai agamanya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Penegasan Rasulullah tersebut, juga telah mendidik kita agar dalam menetapkan hukum, tidak boleh bersikap diskriminasi, sekalipun untuk keluarga sendiri, yang benar tetap benar, dan yang salah tetap salah. Bila di zaman sekarang setiap aparat penegak hukum bersikap adil dalam memutuskan perkara, sungguh betapa indah dan nyamannya bagi setiap pencari keadilan.
Rasulullah saw, memiliki sikap tegas terhadap orang kuffar (asyiddau ‘alal kuffar), artinya menyangkut akidah beliau tidak ada kompromi dan tidak ada toleransi (tasamuh). Lakum dînukum waliyadîn, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tetapi terhadap sesama mereka (umat Islam), beliau bersikap ruhamau bainahum, diliputi penuh kasih sayang.
Sikap tegas yang beliau lakukan tidaklah membabi buta, menghantam siapa saja, tetapi senantiasa dihadapi dengan hikmah (bijaksana) dan lemah lembut (linta lahum). Karena sifat lemah lembut ini pula yang mengundang rasa hormat dan simpatik terhadap beliau dari semua elemen masyarakat era itu. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam: 4).
Wa Allahu a’lam Bishawab
No comments:
Post a Comment