Sebagai tokoh yang dihormati dan dikagumi banyak orang, rumah Gus Dur tak
pernah sepi dari kunjungan para tamu, baik dari warga NU, pejabat, politisi,
wartawan dan sebagainya.
Gus Dur menerima tamu-tamunya biasanya dengan pakaian non formal. Karena
kondisi fisiknya yang sudah lemah, biasanya para tamu diajak mengobrol sambil
tiduran.
Nuruddin Hidayat, salah satu santri Gus Dur suatu ketika merasa
terheran-heran ketika ada tamu, Gus Dur minta untuk digantikan pakaiannya
dengan kain sarung dan peci, seperti ketika mau sholat Idul Fitri. Seumur-umur
ia belum pernah melihat Gus Dur seperti itu.
Rombongan tamu tersebut sampai ditahan-tahan agar tidak masuk rumah dahulu,
sampai Gus Dur dipinjami salah satu sarung milik santrinya agar bisa cepat
berganti pakaian.
Tamu, yang diketahuinya ternyata dari Aceh tersebut berpakaian sederhana,
dekil, dan memakai celana seperti yang biasa dipakai oleh bakul dawet (penjual
dawet). Tamu tersebut diantar oleh aktifitis Aceh.
Perilaku Gus Dur dan tamunya juga aneh. Setelah keduanya bersalaman, Gus
Dur pun duduk di karpet, demikian pula tamunya, tetapi tak ada obrolan diantara
keduanya. Gus Dur tidur, tamunya juga tidur, suasana menjadi sunyi yang
berlangsung sekitar 15 menit.
Setelah sang tamu bangun, ia langsung pamit pulang, tak ada pembicaraan.
Udin, panggilan akrab Nuruddin, karena merasa penasaran, segera setelah
tamu pergi bertanya kepada Gus Dur.
Udin: “Gus, ngak biasanya menerima tamu seperti ini”
Gus Dur: “Itu Wali”
Udin: “Apa ada wali seperti itu selain beliau di Indonesia”
Gus Dur: “Tidak ada, adanya di Sudan”
Gus Dur: “Itu Wali”
Udin: “Apa ada wali seperti itu selain beliau di Indonesia”
Gus Dur: “Tidak ada, adanya di Sudan”
Orang yang sangat dihormati Gus Dur tersebut ternyata adalah almarhum Tgk
Ibrahim Woyla dari Woyla Aceh Barat.
Abu Ibrahim Woyla adalah seorang
ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu
Ibrahim Keramat. Belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat) bila
seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu
wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu
Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi
Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat peristirahatan
terakhir Abu Ibrahim Woyla. Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari
tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita mendalam atas
wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak
air aqua gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur
Aceh Irwandi Yusuf untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat
wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu
Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat
dan Aceh Selatan.
Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun. sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie Aceh Barat. Di antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Syeikh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian sebagai seorang ulama tareqat naqsyabandiyah tersohor di Aceh.
Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale selama 2 tahun. setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho Padang Panjang. Dua tahun di Padang Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah atas kiriman Syeikh Jamil Jaho, setelah 2 tahun di Mekkah kemudian Syeikh Muda Waly kembali ke Blang Pidie dan melanjutkan mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan Pesantren, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (alm) Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 2 tahun memperdalam ilmu tareqat pada Syeikh Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara. Menurut riwayat dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan, Kedua, Abu Ibrahim Woyla menghilang selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya.
Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak ter-urus, pakaiannya sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya. mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agar pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla. Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.
Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun. sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie Aceh Barat. Di antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Syeikh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian sebagai seorang ulama tareqat naqsyabandiyah tersohor di Aceh.
Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale selama 2 tahun. setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho Padang Panjang. Dua tahun di Padang Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah atas kiriman Syeikh Jamil Jaho, setelah 2 tahun di Mekkah kemudian Syeikh Muda Waly kembali ke Blang Pidie dan melanjutkan mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan Pesantren, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (alm) Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 2 tahun memperdalam ilmu tareqat pada Syeikh Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara. Menurut riwayat dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan, Kedua, Abu Ibrahim Woyla menghilang selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya.
Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak ter-urus, pakaiannya sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya. mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agar pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla. Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.
Tokoh ini merupakan orang yang sangat dihormati di Aceh. Masyarakat Aceh
memanggilnya “Tgk Beurahim Wayla” dan percaya bahwa ia sering menunaikan sholat
Jum’at di Makkah dan kembali pada hari itu juga.
Menurut Cerita, masyarakat disana, dia bisa berjalan cepat dan lebih cepat
dari mobil. Dia jarang naik bus, tapi lebih senang berjalan kaki. Ia juga
dipercaya bisa menghilang
Ada orang yang menyebutnya sebagai “dewa tidur”, yang menghabiskan
hari-harinya dengan tidur. Tgk.Ibrahim Woyla juga bisa mengetahui perilaku
seseorang dan sering sekali orang yang menemui beliau dibacakan kesalahannya
untuk di perbaiki.
Sebelum terjadinya tsunami, Abu Ibrahim yang pernah mengatakan ”air laut
bakal naik sampai setinggi pohon kelapa, terbukti tsunami. Posisi tidur Abu
yang dianggap aneh (melengkung/ meukewien) ucapannya sedih melihat manusia
banyak seperti hewan serta mengatakan dunia ini sudah semakin sempit dan masih
banyak cerita gaib yang menjadi kan ulama kharismatik ini selalu dicari-cari
hanya untuk dimintai berkahnya.
Tokoh kharismatik ini meninggal Juli
2009 lalu dalam usia 90 tahun di kediamannya di Desa Pasi Aceh Kecamatan Woyla
Kabupaten Aceh Barat dan dikebumikan tak jauh dari rumahnya. Ribuan pelayat memberinya
penghormatan terakhir.
Sebagian sumber dari : nu.or.id
No comments:
Post a Comment