Membaca profil KH Achmad Shiddiq kita
tidak hanya mengingat beliau sebagai ulama dan tokoh NU, tapi mengingat akan
perjuangan beliau sebagai “Ulama, negarawan dan pejuang nasional yang
ihlas”. Sudah banyak artikel-artikel, blog dan website yang
menceritakan tentang ketokohan beliau ini, yang di harapkan adalah bagaimana kita
untuk mengingat sejarah sebagai suri tauladan yang baik. Apalagi bulan 09 Juli 2014
kita akan menentukan calon pemimpin bangsa untuk 5 tahun kedepan. Saran saya
untuk anda pilihlah calon pemimpin yang “Religius, negarawan, dan pejuang
yang ihlas”.
KH. Achmad Shiddiq yang nama kecilnya Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember
pada hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 (tanggal 24 Januari 1926). Beliau adalah
putra bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf. Achmad ditinggal abahnya dalam usia 8
tahun. Dan sebelumnya pada usia 4 tahun, Achmad sudah ditinggal ibu kandungnya
yang wafat ditengah perjalanan di laut, ketika pulang dari menunaikan ibadah
haji. Jadi, sejak usia anak-anak, Kyai Achmad sudah yatim piatu. Karena itu,
Kyai Mahfudz Shiddiq kebagian tugas mengasuh Achmad, sedangkan Kyai Halim
Shiddiq mengasuh Abdullah yang masih berumur
10 tahun. Ada yang menduga, bahwa bila Achmad terkesan banyak mewarisi
sifat dan gaya berfikir kakaknya (Kyai Mahfudz Shiddiq). Kyai Achmad memiliki
watak sabar, tenang dan sangat cerdas. Wawasan berfilkirmya amat luas baik
dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.
Kyai Achmad belajar mengajinya mula-mula
kepada Abahnya sendiri, Kyai Shiddiq. Kyai Shiddiq sebagaimana uraian-uraian
sebelumnya, dalam mendidik terkenal sangat ketat (strength) terutama dalam hal
sholat. Beliau wajibkan semua putra-putranya sholat berjama'ah 5 waktu. Selain
mengaji pada abahnya, Kyai Achmad juga banyak menimba ilmu dari Kyai Machfudz,
banyak kitab kuning yang diajarkan oleh kakaknya,
Sebagaimana lazimnya putra kyai, lebih suka bila anaknya dikirim untuk ngaji
pada kyai-kyai lain yang masyhur kemampuannya. Kyai Mahfudzpun mengirim Kyai
Achmad menimba i1mu. di Tebuireng. Semasa di Tebuireng, Kyai Hasyim melihat
potensi kecerdasan pada Achmad, sehingga, kamarnya pun dikhususkan oleh Kyai
Hasyim. Achmad dan beberapa putra-putra kyai dikumpulkan dalam satu. kamar.
Pertimbangan tersebut bisa dimaklumi, karena para putra kyai (dipanggil Gus atau
lora atau Non) adalah putra mahkota yang akan meneruskan pengabdian ayahnya di
pesantren, sehingga pengawasan, pengajaran dan pembinaannyapun cenderung
dilakukan secara, khusus/lain dari santri urnumnya.
Pribadinya yang tenang itu. menjadikan Kyai Achmad disegani ol eh
teman-temannya. Gaya bicaranya yang khas dan memikat sehingga dalam setiap
khitobah, banyak santri yang mengaguminya. Selain itu, Kyai Achmad juga seorang
kutu buku/ kutu kitab (senang baca). Di pondok Tebuireng itu pula, Kyai Achmad
berkawan dengan Kyai Muchith Muzadi. Yang kemudian hari menjadi mitra
diskusinva dalam merumuskan konsep-konsep strategis, khususnya menyangkut
ke-NU-an, seperti buku Khittah Nandliyah, Fikroh Nandliyah, dan sebagainya.
Kecerdasan dan kepiaNvaiannya berpidato, menjadikan Kyai Achmad sangat dekat
hubungannya dengan Kyai Wahid Hasyim.
Kyai Wahid telah membinbing Kyai Achmad dalam Madrasah Nidzomiyah. Perhatian
Gus Wahid pada. Achmad sangat besar. Gus Wahid juga mengajar ketrampilan
mengetik dan membimbing pembuatan konsep-konsep.
Bahkan ketika Kyai Wahid Hasyim memegang jabatan ketua. MIAI, ketua NU dan
Menteri Agama, Kyai Achmad juga yang dipercaya sebagai sekretaris pribadinya.
Bagi Kyai Achmad Shiddiq, tidak hanya ilmu KH. Hasyim Asy'ari yang diterima,
tetapi juga ilmu dan bimbingan Kyai Wachid Hasyim direnungkannya secara
mendalam. Suatu pengalaman yang sangat langka, bagi seorang santri.
KETOKOHAN KH. ACHMAD SHIDDIQ
Ketokohan Kyai Achmad terbaca masyarakat sejak menyelesaikan belajar di pondok
di Tebuireng, Kyai Achmad Shiddiq muda mulai aktiv di GPII (Gabungan Pemuda
Islam Indonesia) Jember. Karirnya di GPII melejit sampai di kepengurusan
tingkat Jawa Timur, dan pada Pemilu 1955, Kyai Achmad terpilih sebagai anggota
DPR Daerah sementara di Jember.
Perjuangan Kyai Achmad dalam mempertahankan kemerdekaan '45 dimulai dengan
jabatannya sebagai Badan Executive Pemerintah Jember, bersama A Latif Pane
(PNI), P. Siahaan. (PBI) dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Pada saat itu, bupati
dijabat oleh "Soedarman, Patihnya R Soenarto dan Noto Hadinegoro sebagai
sekretaris Bupati.
Selain itu, Kyai Achmad juga berjuang di pasukan Mujahidin (PPPR) pada tahun
1947. Saat itu Belanda. melakukan Agresi Militer yang pertama. Belanda merasa
kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para Kyai. Agresi tersebut
kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda sehingga muncullah
Perundingan Renville. Renville memutuskan sebagai berikut:
1. Mengakui daerah-daerah berdasar perjanjian Linggarjati
2. Ditambah daerah-daerah yang diduduki Belanda lewatAgresi harus diakui
Indonesia.
Sebagai konsekwensinya perjanjian Renville, maka pejuang-pejuang di
daerah kantong (termasuk Jember) harus hijrah. Para pejuang dari Jember
kebanyakan mengungsi ke Tulung Agung. Di sanalah Kyai Achmad mempersiapkan
pelarian bagi para pejuang yang mengungsi tersebut.
Pengabdiannya di pemerintahan dimulai sebagai kepala KUA (Kantor Urusan Agama)
di Situbondo. Saat itu di departemen Agama dikuasai oleh tokoh-tokoh NU.
Menteri Agama adalah KH. Wahid Hasyim (NU). Dan karirnya di pemerintahan
melonjak cepat. Dalam waktu singkat, Kyai Achmad Shiddiq menjabat sebagai
kepala, kantor Wilayah Departemen Agama di Jawa Timur.
Di NU sendiri, karir Kyai Achmad bermula di Jember. Tak berapa lama, Kyai
Achmad sudah aktiv di kepengurusan tingkat wilayah Jawa Timur, sehingga di NU
saat itu ada 2 bani Shiddiq yaitu: Kyai Achmad dan Kyai Abdullah (kakaknya).
Bahkan pada Konferensi NU wilayah berikutnya, pasangan kakak beradik tersebut
dikesankan saling bersaaing dan selanjutnya Kyai Achmad Shiddiq muncul sebagai
ketua wilayah NU Jawa Timur
Tetapi Kyai Achmad merasa tidak puas dengan kiprahnya selama ini. Panggilan
suci untuk mengasuh pesantren (tinggalan Kyai Shiddiq) menuntut kedua Shiddiq
tersebut mengadakan komitmen bersama. Keputusannya adalah Kyai Abdullah Shiddiq
lebih menekuni pengabdian di NU Jawa Timur, sedangkan Kyai Achmad Shiddiq
mengasuh pondok pesantrennya,
Kyai Achmad Shiddiq termasuk ulama yang berpandangan moderat dan unik sebagai
tokoh NU dan kyai, ia tidak hanya alim tetapi juga memiliki apresiasi seni yang
mengagumkan. Beliau tidak hanya menyukai suara Ummi Kultsum, bahkan juga suka
suara musik Rock seperti dilantunkan Michael Jackson. "Manusia itu
memiliki rasa keindahan, dan seni sebagai salah-satu jenis kegiatan manusia
tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan penilaian agama (Islam). Oleh karena
itu, apresiasi seni hendaknya ditingkatkan mutunya. "Apresiasi seni itu
harus diutamakan mutu dari seni yang hanya mengandung keindahan menuju seni
yang mengandung kesempurnaan, lalu menuju seni yang mengandung
keagungan.Selanjutnya Kyai Achmad memberikan penjelasan sebagai berikut, Seni
itu sebaiknya :
1 . Ada seni yang diutamakan seperti sastra dan kaligrafi.
2. Ada seni yang dianjurkan seperti irama lagu dan seni suara.
3. Ada seni yang dibatasi seperti seni tari.
4. Ada seni yang dihindari seperti pemahatan patung dan seni yang merangsang
nafsu
Dalam memberikan nama untuk anak-anak-nya, Kyai Achmad senantiasa mengkaitkan
calon nama yang bernuansa seni dengan pengabdian atau peristiwa-penstiwa
penting. Seperti kelahiran putranya yang lahir bersamaan dengan karimya sebagai
anggota DPR Gotong-Royong, yaitu Mohammad Balya Firjaun Barlaman, demikian juga
Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, lahir bertepatan dengan konferensi Asia Afrika.
Kyai Achmad menikah dengan Nyai H. Sholihah binti Kyai Mujib pada tanggal 23
Juni 1947, dan dikaruniai 5 orang anak, yaitu:
1. KH. Mohammad Farid Wajdi (Jember)
2. Drs. H. Mohammad Rafiq Azmi (Jember)
3. Hj. Fatati Nuriana (istri Mohammad Jufri Pegawai PEMDA Jember).
4. Mohammad Anis Fuaidi (wafat kecil), clan
5. KH. Farich Fauzi (pengasuh pondok pesantren Al-Ishlah Kediri).
Nyai Sholihah tidak berumur panjang, Allah memanggilnya ketika putra-putrinya
masih kecil. Sehingga keempat anaknya itu di asuh oleh Nyai Hj. Nihayah (adik
kandung ketiga Nyai Sholihah). Melihat eratnya hubungan anak-anak dengan
bibinya, maka Nyai Zulaikho (kakaknya) kemudian mendesak Kyai Achmad agar
melamar Nihayah. Dan Kyai Mujib pun menerima lamaran tersebut. Pernikahan Kyai
Achmad Shiddiq dengan Nyai Hj. Nihayah binti KH. Mujib (Tulung Agung)
memnpunyai 8 orang putra, yaitu:
1. Asni Furaidah (isteri Zainal Arifin, SE.)
2. Drs. H. Moh. Robith Hasymi (Jember).
3. Ir. H. Mohammad Syakib Sidqi (Dosen di Sumatra Barat)
4. H. Mohammad Hisyarn Rifqi (suami Tahta Alfina Pagelaran, Kediri).
5. Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, BA (istri Drs. Nurfaqih, guru SMA Jember).
6. Dra. Nida, Dusturia (istri Tijani Robert Syaifun Nuwas bin Kyai Hamim
Jazuli).
7. H. Mohammad Balya Firjaun Barlaman (pengasuh PP. Al Falah Ploso Kediri).
8. Mohammad Muslim Mahdi (wafat kecil)
Aktivitas pengajian Kyai Achmad mendapatkan sambutan hangat di masyarakat.
Pesan-pesan agama disampaikannya dengan bahasa dan logika yang sederhana
sehingga mudah dicerna. semua kalangan. Pengajian-pengajiannya dikemas secara
khusus, seperti yang peruntukkan untuk masyarakat umum (kalangan awam) pada
setiap malam senin sudah dirintisnya sejak tahun 1970-an dan tetap berlangsung
hingga sekarang, Pengajian setiap malam Selasa, yang diperuntukkan bagi
kalangan intelektual, sarjana, dosen dan tokoh-tokoh masyarakat membahas
secara, kontemporer dan apresiatif kitab Ihya Ulumiddin karangan Imam Ghozali.
Pengajian-pengajian Kyai Achmad banyak bernuansa Tasawwuf. Ada 3 unsur utarna
dari tasawwuf yang dapat menuntun seseorang untuk bertasawwuf dari tingkat
rendah menuju peningkatan diri secara bertahap, yaitu:
1. AL ISTIQOMAH : yang berarti; tekun, telaten, terus-menerus
tidak bosan-bosan mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan Mungkin baca Yasin
tiap malam Jum'at, mungkin baca Istighfar sekian kali dalam setiap malam, dan
sebagainya.
2. AZ ZUHD : yang berarti terlepas dari ketergantungan hati
/batin dengan harta benda kekuasaan, kesenangan, dan sebagainya, yang ada, di
tangannya sendiri, apalagi yang ada di tangan orang lain. Tidak tergantung
berbeda dengan tidak memiliki, berbeda, dengan tidak punya. Seorang "Zahid"
bisa saja kaya, tetapi hatinya tidak tergantung pada kekayaannya. Barang siapa
yang tidak berputus asa karena sesuatu yang terlepas dari tangannya dan tidak
bergembira, (melewati batas) dengan sesuatu yang diterimanya dari Allah maka
dia sudah mendapatkan zuhud pada, kedua belah ujungnya.
3. AL FAQIR : artinya, selalu menyadari kebutuhan diri kepada
Allah. Kesadaran yang mendalam dan terus-menerus, tentang "dirinya
membutuhkan Allah" tidak selalu ada pada setiap orang. Pada suatu saat
kesadarannya, akan tinggi tetapi saat lain kesadarannya menurun.
Pada Munas Ulama NU di Situbondo, ratusan ulama NU berkumpul di Pesantren
Salafiyah Syafiiah, Sukorejo, pada 18-20 Desember 1983, KH. Achmad
Siddiq berhasil meyakinkan mereka untuk menerima Pancasila sebagai
asas organisasi. Di forum Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama itu, berbekal
makalah setebal 34 halaman, Kiai Achmad menjelaskan duduk soal Pancasila dan mengapa
NU harus menerima asas tersebut. Ia tak berapologi, cukup dengan mengungkapkan
berbagai argumentasi dasar dan argumentasi historis dari babak sejarah umat
Islam di Indonesia. “Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan
saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan,” kata
Kiai Achmad.
“NU menerima Pancasila berdasar pandangan syari’ah.
Bukan semata-mata berdasar pandangan politik. Dan NU tetap berpegang pada
ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan
selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya,” kata
KH. Achmad Siddiq setengah bergurau, tapi diplomatis.
Hasilnya bisa ditebak, ratusan kiai kini berbalik
mendukung Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Peristiwa itu
menandai sebuah babak baru dalam perjalanan NU sebagai organisasi massa Islam
yang pertama kali menerima asas tunggal, bahkan sebelum resmi diundangkan pada
1985. Secara sistematis keputusan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, dirumuskan
dalam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dan Islam, yang terdiri dari lima
poin :
Pertama : Pancasila sebagai dasar dan falsafah
negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama
dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan agama.
Kedua : sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam
Islam.
Ketiga : bagi NU, Islam adalah aqidah dan
syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan
antarmanusia.
Keempat :
penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam
Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
Kelima : sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU
berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan
pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Pemikiran KH. Achmad Siddiq yang kemudian menjadi
deklarasi itu, rupanya dilatari dua landasan, yaitu historis dan hukum. Secara
historis umat Islam tidak pernah absen dalam menolak penjajahan dan menegakkan
serta mengisi kemerdekaan. Sejak awal umat Islam berada di garda terdepan
mengusir penjajah.
Sementara secara hukum, Allah SWT mewajibkan amar
ma’ruf nay munkar bagi umat manusia. Kewajiban itu tentu saja tidak dapat
dilakukan tanpa adanya kekuatan dan imamah yang kuat dan mendukung. Atas dua
landasan inilah maka mendukung negara Pancasila menjadi wajib hukumnya sebagai
konsekuensi dari perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam di masa lalu.
KH. Achmad Siddiq menegaskan, konsekuensi lain
dari penerimaan asas tunggal Pancasila adalah menerima wujud negara Republik
Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya merupakan upaya final seluruh
bangsa terutama kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.
Dengan begitu, Kiai Achmad berhasil mendamaikan perdebatan antara agama dan
negara, khususnya di kalangan kaum Nahdliyin.
Seiring diterimanya Pancasila sebagai asas organisasi,
nama Kiai Achmad pun kian melejit menjadi bintang Munas. Tak heran, dalam
Muktamar NU ke 27 di Situbondo, setahun kemudian, Kiai Achmad Siddiq terpilih
sebagai Ro’is Aam PBNU berpasangan dengan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua
Umum Tanfidziahnya.
Duet KH. Achmad Siddiq dan Gus Dur temyata mampu
mengangkat pamor NU ke permukaan. Beberapa. kali NU bisa selamat ketika
menghadapi setiap persoalan besar dan pelik berkat kepemim’pinan keduanya.
Semisal goncangan, ketika Kyai As’ ad yang kharismatik mengguncang NU dengan
sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus Dur. Dalam Munas NU di cilacap
tahun 1987, Kyai As’ ad menginginkan Gus Dur diganti. Namur demikian, Kyai
Achmad Shiddiq dan Kyai Ali Ma’shum tampil membelanya.
KHITTAH
NAHDLATUL ULAMA (NU) 1926
Di forum Munas Situbondo 1983, gagasan yang diarsiteki
Kiai Achmad agar NU kembali ke khittah 1926 juga disepakati menjadi keputusan
resmi organisasi, yang kemudian dikuatkan menjadi keputusan resmi pada Muktamar
setahun kemudian, 1984. Dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas
Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama diceritakan, konsep kembali ke Khittah 1926
yang mencuat dan dikenal masyarakat luas menjelang berlangsungnya Munas Alim
Ulama tahun 1983. Tapi, sebenarnya jauh hari sebelum itu, KH Achmad Siddiq
sudah mengintroduksi dasar-dasar pemikiran Khittah Nahdliyyah.
Pada 1979, ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang
Khittah Nahdliyyah sebagai sumbangan berharga bagi warga NU. Adapun rumusan
Khittah 1926 hasil Munas Situbondo 1983 sendiri yaitu :
Pertama : mengembalikan aktivitas NU dari
bidang politik ke bidang asalnyam yakni bidang dakwah, pendidikan, dan sosial.
Terlalu lama NU bekecimpung di dunia politik praktis, sejak 1955-1982, hingga
garapan pokoknya sendiri terbengkalai.
Kedua : menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU
dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke Golkar, PPP, maupun PDI, waktu
itu yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.
Ketiga : membenahi organisasi, setelah
terperangkap dalam kemelut intern sesuai Munas Alim Ulama di Kali Urang,
Yogyakarta, 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu Cipete dan Situbondo.
Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya rekonsiliasi 10
September 1984 di kediaman KH Hasyim Latif, Sepanjang, Sidoarjo. Faedah lain
dari Khittah 1926, yaitu mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti
Mustasyar dan Syuriah, sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.
MAJLIS DZIKIR DZIKRUL GHOFILIN
Pengajian malam Senin tersebut itu dinamakan "Majlis Dzikrul
Ghofilin" yang artinya, majlis dzikirnya orang-orang lupa. Maksudnya
orang-orang yang lupa adalah sifat relatif pada manusia yang selalu lupa. (agar
selalu ingat Allah) sehingga perlu selalu diingatkan melalui Dzikir tersebut.
Pada acara-acara tersebut, selain mengamalkan sholat tasbih, dzikir, Kyai
Achmad biasanya mendahului menyampaikan ceramah agamanya.
Majlis Dzikrul Ghafilin yang dirintis pada awal tahun 1970-an tersebut 20 tahun
berikutnya telah dilkuti oleh sekitar 20.000 orang Jamaah yang tersebar
diseluruh Jawa, dan selanjutnya Jamaah pada setiap daerah mengembangkannya
lebih lanjut dikawasan masing-masing.Secara historis, pada tahun 1973 Kyai
Achmad mendapat ijazah dari Kyai Hamid untuk membaca Fatihah 100 kali setiap
hari. Selanjutnya. Kyai Achmad mengadakan riyadlah di PPI. Ashtra beberapa
tahun, baru setelah itu bacaan fatihah 100 kali dipadukan dengan bacaan lain untuk
diwiridkan bersama-sama. Kemudian cara mernbacanya bisa dibagi dan dicicil
dengan ketentuan: Subuh 30 kali, Dhuhur 25 kali, Ashar 20 kali, Maghrib 15 kali
dan Isya' 10 kali. Dzikrul Ghafilin paling afdhal jika dibaca setelah sholat
dan dibaca dengan hati yang talus ikhlas. Ada ceritera menarik antara Kyai
Achmad dan Kyai Hamid: "Setiap memasuki tapal batas Pasuruan, Kyai Achmad
selalu mengucapkan salam kepada Kyai Harnid. Ketika bertemu, Kyai Hamid
menyatakan bahwa beliau selalu menjawab salam Kyai Achmad".
Dzikrul Ghafilin yang namanya diambil dari Al-Qur'an surat Al-Araf 172 dan 265
menurut Kyai Achmad adalah wirid biasa, bukan wirid. thariqat. Jika tariiqat
dengan bai'at, kalau tidak menegakkan pasti dosa, sedang dzikrul ghafilin
adalah dengan ijazah. Pengamalannya tanpa menimbulkan efek camping dan isi
bacaannya terdiri dari Al-Fatihah, Asmaul Husna, Ayat Kursi, Istighfar,
Sholawat dan tahlil
Ada 3 orang Kyai yang ikut meramu bacaan-bacaan dalam dzikrul ghafilin, yaitu:
1- KH. Abdul Hamid bin Abdullah (Pasuruan)
2- KH. Achmad Shiddiq (Jember)
3- dan KH. Hamim Jazuli (Gus Mik, Kediri).
Bahkan menurut Gus Mik, ada tiga tokoh
lagi yang ikut andil dalam wirid dzikrul ghafilin, yaitu Mbah Kyai Dalhar
(Gunung Pring Muntilan Magelang), Mbah Kyai Mundzir (Banjar Kidul Kediri), dan
Mbah Kyai Hamid (Banjar Agung Magellang).
Tawashul bil Fatihah, dalam kitab dzikrul ghafilin ditujukan kepada:
1 . Rasulullah Muhammad Saw.
2. Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil, Penjaga Arsy, dan Malaikat
Muqorrobin.
3. Nabi-nabi dan Rasul-rasul
4. Ulul Azmi (Nabi Nuh As, Nabi lbrohim As, Nabi Musa As, Nabi Isa dan Nabi
Muhammad saw)
5. Istri-istri Nabi (Siti Aisyah, Siti Hafsoh. Siti Sa'udah, Siti Shofiayh,
Siti Maimunah, Siti Roulah, Siti Hindun, Siti Zainab, dan Siti Zuwairiyah)
6. Putra-putri Nabi (Qosyim, Abdullah, Ibrohim, Fatimah, Zainab, Ruqoyyah dan
Ummi Kultsum).
7. Keturunan (Dzurriyah) Nabi saw.
8. KeluargaNabi saw.
9. Shahabat Nabi saw, khususnya Ahli Badar (yang wafat saat perang Badar, dari
Muhajirin dan Anchor)
10. Pengikut Nabi saw yaitu para Syuhada', 'ulama, 'auliya', sholihin,
mushonniffin, muallifin, Mbah-mbah, orang tua (bapak dan ibu) dan orang-orang
yang benar.
11. Nabi Khodliri Abi Abbas Balya bin Malkan As.
12. Sultonil' Auhya' Awwal yaitu:
a. Abi Muhammad Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib
b. Sayyidina Husein ra.
c. Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra.
d. Sayyidatina. Fatimah Az-Zahro ra,
13. Sayyid Syech Muhyiddin Abu Muhammad (Sultonil' Auliya Syech Abdul Qodir
Al-Jilani ra) bin Abi Sholih Musa jangkadusat
14. Sayyid Syech Ali Muhammad Bahauddin Naqsabandi ra.
15. Sayyid Syech Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali ra.
16. Sayyid Syech Achmad Ghozali (adik Imam Ghozali)
17. Sayyid Syech Abi Bakar As-Syibbli ra.
18. Sayyid Syech Qutub Ghowtsi Habib Abdillah bin Alwi Haddad ra.
19. Sayyid Syech Abi Yazid Toymuri bin lsa Bustomi ra.
20. Sayyid Syech Muhammad Hanafi.
21. Sayyid Syech Yusuf bin Ismail A-Nabhani ra.
22. Sayyid Syech Jalaluddin As-Suyuti ra.
23. Sayyid Syech Abu Zakariya Yahya bin Sarafinnawawi ra.
24. Sayyid Syech Abdul Wahhab As-Syaroni ra.
25. Sayyad Syech Ali Nuruddin Asy-Syowni ra.
26. Sayyid Syech Abi Abbas Achmad bin Ali Al-Buni ra.
27. Sayyid Svech Ibrohim bin Adhama ra.
28. Sayyid Syech Ibrohim. Ad-Dasuqi ra.
29. Sayyid Syech Abu Abbas Syihabuddin Achmad bin Umar Anshori Al-Anshori
Al-Mursiy
30. Sayyid Syech Sa'id Abdul Karim Al-Bushiri.
31. Sayyid Syech Abu Hasan Al-Bakri.
32. Sayyid Syech Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Buchori.
33. Sayyid Syech Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani.
34. Sayyid Syech Tajuddin bin Athoillah Al-Askandari ra.
35. Mazhab Ernpat, Khususnya:
a Sayyid Syech Imam Muhammad bin Idris As-Syafii
b. Sayyid Syech Abu Hafsin Umar As-Suhrawardi
c. Sayyid Syech Abi Madyan
d- Sayyid Syech Ibnu Maliki Al-Andalusi
e. Sayyid Syech Abu Abdulloh Muhammad bin SulaimanAl Jazuli
f Sayyid Syech Muhyiddin bin Al-Arabi
g. Sayyid Syech Imon bin Husayni ra.
36. Al Qutub Al Kabir Sayyid Syech Abdussalam 1bnu Masyisyi
37. Sayyid Syech Abu Hasani. Ali bin Abdillah bin Abdul Jabbar As-Syadzi1i
38. Sayyid Syech Abi Mahfudz Ma'ruf Al-Karkhiy
39. Sayyid Syech Abi Hasani Sari As-Saqofi
40. Sayyid Syech Abu Qosim Al-Imam Junaidi Al-Baghdadi
41. Sayyid Syech Abu `Abbas Ahmad Badawi
42. Sayyid Syech Abu Husain Rifa'i
43. Sayyid Syech Abu Abdillah Nu' man
44. Sayyid Syech Imam Hasani bin Abu Hasani Abi Sa'id Bashri
45. Sayyidati Robi'ah Al-Adawiyah ra.
46. Sayyidati Ubaidah binti Abi Kilab ra
47. Sayyid Syech Abu Sulaiman Ad-Daroni ra
48. Sayyid Syech Abu Abdillah Al-Harits bin Asadi Al-Muhasibi ra.
49. Sayyid Syech Abi Faydl dzinnun Al-Misry ra,
50. Sayyid Syech Abi Zakariyya. Yahya bin Mu'adz Ar-Rozy ra
51. Sayyid Syech Abi Sholih Hamdun an-Naisabur.
52. Sayyid Syech Husaini bin Mansur Al-Hallaj ra.
53. Sayyid Syech Jalaluddin Ar-Rumy ra.
54. Sayyid Syech Abi Hafsin Syarafiddin Umar bin Farid Al- Hamawiy Al-Mirsi ra.
55. Ikhwan Dzikrul Ghafilin
56. Orang yang hidup dan mati baik itu:
a. Orang-orang shalihin
b. Auliya Rijalillah
c. Orang-orang yang Arif
d. Ulama Amilin
e. Para Auliya Jawa dan Madura khususnya Wali Songo
f. Kaum Sufi Muhaqiqin
Tentang "Tawassul", Kyai Achmad memberikan penjelasan bahwa do' a
tawashul ada dua macam:
1. Doa yang harus "dikatrol", yaitu. Yaitu orang yang tidak faham dan
tidak maqbul do' anya akan dikatrol (ditolong) oleh orang faham dan khusyu'
dalam berdo'a Hal ini sama dengan sholat berjama'ah tersebut. Bila salah satu
diterima amal sholatnya maka diterima semua yang berjama'ah tersebut. Karena
itu sholat berjama'ah lebih baik dari sholat sendiri. Bahkan Imam Hambali
menghukumi Fardlu Ain. Ada Hadits Nabi sebagai berikut: "Nabi didatangi
seorang sahabat. Sahabat menyampaikan bahwa ia sering lupa do'a yang sudah
diajarkan Nabi. Lalu Nabi mengatakan, "Bacalah do'a di bawah ini"
maka nilainya sama".
"Ya Allah aku tidak tabu apa yang di doakan oleh Nabi Tapi aku juga ikut
mohon doa itu. Dan apa yang diminta NAbi untuk dijauhkan dari bahaya, aku juga
mohon ya Allah".
2. Doa yang bersifat "dorongan" yaitu: orang yang berdoa tidak maqbul
karna jiwanya tidak bersih, sehingga perlu didorong atau di amini oleh orang
yang maqbul doanya dan bersih hatinya Ada hadits sebagai berikut "Ada tiga orang
sahabat yang sedang berzikir di masjid. Salah satunya adalah Abu Hurairah yang
masih muda usia. Lalu masuklah Nabi sambil bersabda: berdoalah kamu dan aku
mengamininya. Satu persatu mereka berdoa dan di amini oleh Nabi. Giliran ketiga
pada Abu Hurairah berdoa sebagai berikut: "Ya Allah semua yang diminta
sahabat yang pertama, aku mohon juga. Begitu pula yang diminta sahabat yang
kedua aku mohon juga Sekarang aku mohon untuk diriku sendiri. Ya Allah sejak
kecil aku ini pelupa, aku mohon agar dapat hafal semua yang diajarkan
Nabi". Doa Abu Hurairah inipun di amini Nabi, maka sejak itulah la menjadi
penghafal/perawi Hadits terbanyak. Ini karena dorongan amin Nabi yang langsung
di terima Allah".
Pengajian Dzikrul Ghafilin ini semakin lengkap dan dilkuti oleh ribuan
muslimin/muslimat, setelah digabung dengan sema'an Al-Qur'an Mantab" yang
dirintis oleh Gus Mik, dan kini dikoordinasi oleh KH. Farid Wajdi (putra Sulung
Kyai Achmad). Pengajian "Dzikrul Ghafillin dan Istima'ul Qur'an" ini
tidak hanya dilakukan di Jember, bahkan hampir semua Kabupaten di Jawa Timur
dan Jawa Tengah (ternasuk Kraton Yogya dan kantor-kantor pemerintah pun) sudah mengadakan kegiatan ini
secara rutin.
Kedekatan KH. Achmad Shiddiq dengan Gus Mik tidak hanya pada penggabungan
Dzikrul Ghofilin dengan sema' an Qur' an Mantab saja. Bahkan eratnya hubungan
itu terikat rapat setelah kedua tokoh itu "besanan". Putra Kyai Achmad
(Gus Hisyam Rifqi) menikah dengan putri Gus Mik (Tahta Alfina Pagelaran) sedang
Ning Nida Dusturia (Putri Kyai Achmad) Dinikahkan dengan Gus Robert Syaifun
Nuwas (putra Gus Mik), lebih dari itu Gus Firjaun (putera Bungsu Kyai Achmad)
menikah dengan Ning Sofratul Lailiyah (Ponaan Gus Mik). Dengan dzikrul ghafilin
Kyai Achmad berikhtiar menciptakan suasana religius guna membentengi masyarakat
dalam memasuki kehidupan modern, karena modernisasi menurut Kyai Achma
cenderung membawa mudirrunisasi. yakni suatu proses yan mengarah kepada sesuatu
yang memudharatkan, sehingga pengembangan suasana religius merupakan kondisi
yang harus mendapatkan prioritas.
BINTANG PENGHARGAAN KEPADA KH ACHMAD
SHIDDIQ
Pada Munas Ulama NU di Situbondo pada bulan Desember 1983, KH. Achmad Shiddiq
menjelaskan makalahnya tentang "Penerimaan Azas Tunggal Pancasila bagi
NU". Beliau menyampaikan pokok-pokok fikiran dan berdialog tanpa kesan
apolog: Beliau ungkap argumentasi secara mendasar dan rasional dari segi agama,
historis maupun politik. "Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat
sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan
dipertentangkan",kata Kyai Achmad.
Lebih lanjut ditegaskan: "NU menerima Pancasila berdasar pandangan
syariah. bukan semata-mata berdasar pandangan politik. Dan NU tetap berpegang
pada ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita
makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya
katanya setengah bergurau penuh diplomatic. Sungguh luar biasa, ratusan kyai
yang sejak awal menampik Pancasila sebagai satu-saatunya Azas organisasi,
berangsur-angsur berobah sikap dan menyepakatinya. Sejak saat itulah, sejarah
mencatat NU menjadi ormas keagamaan yang pertama menerima Pancasila sebagai
satu-satunya Azas.
Nama Kyai Achmad melejit bak "Bintang Kejora", dalam Munas NU itu.
Dan tak heran, dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo itu, Kyai Achmad Shiddiq
terpilih sebagai Ro'is Aam PBNU, sedang KH. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua
Umum Tanfidziahnya, bentuk pasangan yang, ideal.
Duet Kyai Achmad dan Gus Dur temyata marnpu mengangkat pamor NU ke permukaan.
Beberapa. kali NU bisa selamat ketika menghadapi setiap persoalan besar dan
pelik berkat kepemimpinan keduanya. Semisal goncangan, ketika Kyai As' ad yang
kharismatik mengguncang NU dengan sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus
Dur. Dalam Munas NU di cilacap tahun 1987, Kyai As' ad menginginkan Gus Dur
dijadikan agenda Munas, dan diganti. Namur demikian, Kyai Achmad Shiddiq dan
Kyai Ali Ma'shum tampil membelanya.
Kyai Achmad dalam posisi sulit dan menentukan itu mampu meyakinkan warga NU
untuk tetap kukuh dengan khittah NU 1926. Pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta
pada tahun 1989 Kyai Achmad menegaskan pendiriannya tentang Khittah. "NU
ibarat kereta, api, bukan taksi yang bisa, dibawa, sopirya, ke mana, saja. Rel
NU sudah tetap", ujarnya bertamsil. Dengan tamsil ini pula Muktamar
Yogyakarta dapat mempertahankan duet Kyai Achmad dengan Gus Dur.
Dan kepulangan Kyai Achmad dari Muktamar Yogyakarya, Kyai Achmad sakit Diabetes
Melitus (kencing manis yang parah). Kyai Achmad dirawat di RS. Dr. Sutomo,
Surabaya.
"Tugasku di NU sudah selesai", kata Kyai Achmad Shiddiq pada
rombongan PBNU yang membesuknya di RSU Dr. Sutomo, Ternyata isyarat itu benar.
Tanggal 23 Januari 1991, Kyai Achmad Shiddiq wafat. Rois Aam PBNU yang berwajah
sejuk itu menanggalkan beberapa jabatan penting:
1. Anggota DPA (Dewan Pertimbanzan Agung)
2. Anggota BPPN (Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional)
KH Achmad Shiddiq dimakamkan di kompleks makam Auliya, Tambak Mojo, Kediri. Di
makam itu juga sudah dimakamkan 2 orang Auliya sebelumnya. "Aku seneng di
sini Besok kalau aku mati dikubur sini saja", wasiat Kyai Achmad pada
istri dan anak-anaknya. Walaupun berat hati karena jauhn dari Jember,
keluarganyapun merelakannya sebagai penghormatan pada bapak yang sangat di
cintainya
Ribuan muslimin dan muslimat melayat ke pemakaman Kyai Achmad Shiddiq. Jenazah
terlebih dulu disemayamkan di rumah duka (kompleks Pesantren Ashtra.
Talangsari) dan keesok harinya, barulah beriring-iringan mobil yang berjumlah
seratus itu mengantarkannya di tempat yang jauh, tetapi menyenangkannya. Sang
Bintang Kejora itu jauh dari Jember tetapi sinarnya tetap cemerlana dari
pemakaman Tambak nun jauh.
Sekitar 5 tahun setelah wafatnva, tepatnya pada tanggal 9 Nopember 1995, Kyai
Achmad masih mendapatkan penghargaan "Bintang Maha Putera NARARYA, dari
Pemerintah dan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional Mantan Tokoh NU
(Sumber ; Buku Biografi Mbah Shiddiq).