Saat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Situbondo Jawa Timur tahun 1984, sempat terjadi suasana
yang panas. Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo dan kubu Cipete,
melainkan juga karena kubu Situbondo terancam pecah akibat KH Machrus Ali,
pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, menolak KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi ketua
umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan jabatannya
sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Menurut para kiyai, seorang ulama
dan sekaligus ketua umum PBNU tidak pantas ngurusi “kethoprak”. Namun ternyata Gus
Dur bersikeras tidak mau mundur menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
dengan tegas Gus Dur mengatakan “Lebih baik saya tidak menjadi ketua umum
PBNU daripada saya harus melepas jabatan sebagai ketua DKJ”. Sikap keras
Gus Dur memang sangat aneh, sangat kontroversial dan kontradiktif, sekilas
tampak menyimpang dari tradisi
ulama-ulama di kalangan NU.
Meskipun KH Machrus Ali lebih tua dari KH Wahid Hasyim tetapi beliau hormat
ta’dzim kepada KH Wahid Hasyim (Sosok ulama muda yang sulit mencari
penggantinya, sosok kharismatis, brilian dan fenomenal. Di usianya yang belum
genap 40 tahun, sudah menjadi tokoh
nasional, pejuang dan ulama yang di hormati dan di segani, beliau meninggal
dalam kecelakaan di usianya yang masih muda 39 tahun, semoga Allah menerima
segala perjuangan dan amal baiknya dan mengampuni segala dosanya Amieen..).
KH Machrus Ali menghormati KH Wahid
Hasyim juga karena beliau sendiri merupakan putra dari gurunya Hadratus Syaikh
Muhammad Hasyim Asy’ari yang merupakan
seorang Wali Qutub yang mashur dengan perjuangan
dan resolusi jihadnya untuk
mempertahankan agama dan bangsa Indonesia ini dari kaum penjajajah. Dan beliu
juga pendiri organisasi NU.
Menurut sebuah
cerita yang bersumber dari KH Said Agil
Siradj, bahwasanya pada waktu para ulama dan kyai berkumpul diantaranya ada Kiai
As’an, KHR As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Mahrus Ali (Lirboyo), dan KH
Ali Maksum (Krapyak ). Tiba-tiba Kiyai As’an mengatakan kepada para kiai “Para
kiai tadi malam, saya bertemu dengan Nabi Khidir as, dan Nabi Khidir merestui
NU dipimpin oleh Gus Dur’’. Kyai As’asn mengatakan bahwa beliau bertemu
Nabi Khidir as bertemu pukul 03.00.
Ada sebuah peristiwa pada saat Gus Dur berkunjung
ke pondok ploso Kediri, Gus Dur bertemu dengan Gus Miek yang merupakan seorang
waliyullah yang mashur dan sangat di hormati di Jawa timur, Gus Miek mengatakan
kepada para hadirin “INILAH PEMIMPIN DUNIA AKHIRAT”. Entah apa yang
melatarbelakangi Gus Miek mengatakan demikian akan tetapi memang hal tersebut
sengaja diucapkan Gus Miek.
Bahkan
pada saat ziarah ke makam Tambak Gus Miek menawarkan kepada Gus Dur “GUS
GIMANA KALAU ANDA WAFAT ANDA DIMAKAMKAN DI SINI SAJA SAMA SAYA”. Maksud
dari Gus Miek tersebut dimakamkan di makam arba’in auliya’ (makam 40
wali Allah) yang berjarak kurang lebih km dari pondok Ploso Kediri yang sekarang juga menjadi
makam almarhum Gus Miek dan sahabatnya KH Ahmad Shiddiq (Jember).
Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, dan pada dua muktamar berikutnya
ia kembali terpilih sebagai ketua umum. Maka selama lima belas tahun
(1984-1999) NU berada dalam kendali Gus Dur. Kejadian di tahun 1984 itu
menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU. Dua pilar dalam tradisi itu
adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan darah, dan hubungan patronase
kiai-santri atau guru-murid.
Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah maupun ibu.
Selain cucu KH Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia pun cucu KH Bisri Syansuri
dari jalur ibu. KH Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan pengasuh Ponpes
Denanyar, Jombang, adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur.
Dalam hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng merupakan ”kiblat”,
khususnya semasa KH Hasyim Asy’ari. Banyak kiai besar yang belajar di
Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra
kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada cucu kiainya. Karena
itu, putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”.
Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin. Apalagi,
ia juga memiliki kemampuan keilmuan yang dipandang sangat tinggi di antara para
tokoh NU. Meskipun tidak dikenal sebagai spesialis dalam salah satu atau
bebrapa cabang ilmu keislaman, ia sangat menguasai kitab kuning, juga
kitab-kitab kontemporer yang disusun para ulama di masa belakangan. Selain
mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai berbagai ilmu lain dengan
wawasan yang sangat luas.
Di masa Gus Dur pamor NU terus menaik. Ia berhasil membawa NU menjadi
kekuatan yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan, yang waktu itu tak
terimbangi oleh siapa pun. Setelah sebelumnya kurang diperhitungkan, kecuali di
saat-saat pemilu, NU kemudian berubah menjadi betul-betul dikenal dan dihormati
banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika sebelumnya jarang
dibicarakan orang, dalam waktu singkat NU berubah menjadi obyek studi dari
banyak sarjana di mana-mana. Semua itu tak dapat dilepaskan dari peran Gus Dur,
baik sebagai ketua umum PBNU maupun sebagai pribadi dalam berbagai
kapasitasnya.
Ya, Gus Dur memang punya kharisma yang besar di mata para kiai, apalagi di
depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela
menuju dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus Dur, karena ia
membawa pesantren dan NU ke dunia luar yang luas. Ia membuka masyarakat NU
untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.
Sejak di bawah kepemimpinan Gus Dur, peran NU sebagai jam’iyyah maupun
peran tokoh-tokohnya sebagai individu dari waktu ke waktu semakin kuat dan
terus meluas, termasuk dalam politik. Meskipun secara resmi NU telah menyatakan
diri kembali ke khiththah dan tidak lagi berpolitik praktis, pengaruh
politiknya tak pernah surut, bahkan semakin menguat. Tokoh-tokoh NU yang
terlibat di pentas politik, meskipun tidak mengatasnamakan NU, semakin banyak.
Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat mengandalkan dukungan
warga NU.
Dinamika politik kemudian terus
bergulir. Hanya berselang setahun tiga bulan setelah pendirian PKB, akhirnya
pada bulan Oktober 1999 Gus Dur terpilih sebagai presiden RI yang keempat
melalui pemilihan langsung yang dramatis di MPR. Itulah puncak karier NU di
pentas politik.
Menurut Gus
Dur ada lima macam Kiai (Ulama’ atau Ustad) Yaitu :
1- Kiai tandur yaitu seorang Ulama,
kyai atau Ustad yang berjuang yang memiliki pondok pesantren, yayasan, lembaga,
pendidikan, organisasi, majelis taklim termasuk juga Majlis dzikir dan Ilmu.
2- Kiai sembur yaitu seorang Ulama,
kyai atau Ustad yang tidak punya pondok pesantren maupun majelis taklim, kiai
sembur sendiri biasanya seorang tokoh atau panutan di masyarakat yang di
hormati karena alim dan memiliki suri tauladan yang baik. Banyak di jadikan
rujukan masyarakat untuk datang kepadanya.
3- Kiai wuwur yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad yang tidak mengerti politik tapi terjun ke dunia politik, biasanya
kiai seperti ini akan menjadi alat politik dan kekuasaan dan akan menjadi
korban politik.
4- Kiai
catur yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad yang tahu politik
5- Dan Kiai
nutur yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad yang komersial dan matrealistis, doyan makan bantuan
atau sumbangan dan kemana mana suka bawa proposal.
“Yang harus dijaga oleh NU adalah kiai tandur dan kyai sembur. Karena kedua
kiai tersebut yang akan memelihara NU,” pesan Gus Dur.
Tetapi sekarang
ini banyak sekali tokoh agama (kiai) yang terjun kedunia politik, apabila kiai
ini terjun kedunia politik ini karena
memang sudah tahu dan paham ilmu politik, dan dia berjuang demi bangsa,
rakyat dan agama, mari kita dukung. Tetapi apabila kiai ini berjuang demi
mencari kekuasaan, kekayaan dan untuk kepentingan pribadinya sendiri, hukumnya
wajib untuk anda tidak mendukungnya.
Sedangkan alasan Gus Dur merevisi Tap MPRS Nomor 25/1966 tentang pembubaran PKI
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, sebab dalam Islam tidak ada dosa
warisan.
“Gara-gara Tap MPRS itu seseorang yang belum tentu mengenal kakeknya harus
menanggung kesalahan kakeknya. Dia tidak boleh menjadi PNS dan sebagainya”.
No comments:
Post a Comment