18 June 2014

Gus Dur Lebih Memilih Menjadi Kiyai Ketoprak Daripada Menjadi Ketua PBNU

Saat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Situbondo  Jawa Timur tahun 1984, sempat terjadi suasana yang panas. Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo dan kubu Cipete, melainkan juga karena kubu Situbondo terancam pecah akibat KH Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, menolak KH  Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi ketua umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan jabatannya sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Menurut  para kiyai, seorang ulama dan sekaligus ketua umum PBNU tidak pantas ngurusi “kethoprak”. Namun ternyata Gus Dur bersikeras  tidak mau mundur  menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dengan tegas Gus Dur mengatakan “Lebih baik saya tidak menjadi ketua umum PBNU daripada saya harus melepas jabatan sebagai ketua DKJ”. Sikap keras Gus Dur memang sangat aneh, sangat kontroversial dan kontradiktif, sekilas tampak  menyimpang dari tradisi ulama-ulama di kalangan NU.
Masalahnya kemudian terselesaikan saat KH Achmad Sidiq dari Jember bercerita kepada para Kiyai dan juga kepada KH Machrus Ali, bahwasanya KH Achmad Siddiq bermimpi : “Melihat Al-marhum KH Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, berdiri di atas mimbar”. Spontan para Kiyai dan KH Machrus Ali berubah, sikap mendukung Gus Dur tanpa syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, KH Wahid Hasyim merestui Gus Dur.

Meskipun KH Machrus Ali lebih tua dari KH Wahid Hasyim tetapi beliau hormat ta’dzim kepada KH Wahid Hasyim (Sosok ulama muda yang sulit mencari penggantinya, sosok kharismatis, brilian dan fenomenal. Di usianya yang belum genap 40 tahun, sudah menjadi  tokoh nasional, pejuang dan ulama yang di hormati dan di segani, beliau meninggal dalam kecelakaan di usianya yang masih muda 39 tahun, semoga Allah menerima segala perjuangan dan amal baiknya dan mengampuni segala dosanya Amieen..). KH Machrus Ali menghormati  KH Wahid Hasyim juga karena beliau sendiri merupakan putra dari gurunya Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari  yang merupakan seorang Wali Qutub yang mashur dengan perjuangan dan resolusi  jihadnya untuk mempertahankan agama dan bangsa Indonesia ini dari kaum penjajajah. Dan beliu juga pendiri organisasi NU.

Menurut sebuah cerita yang bersumber dari  KH Said Agil Siradj, bahwasanya pada waktu para ulama dan kyai berkumpul diantaranya ada Kiai As’an, KHR As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Mahrus Ali (Lirboyo), dan KH Ali Maksum (Krapyak ). Tiba-tiba Kiyai As’an mengatakan kepada para kiai “Para kiai tadi malam, saya bertemu dengan Nabi Khidir as, dan Nabi Khidir merestui NU dipimpin oleh Gus Dur’’. Kyai As’asn mengatakan bahwa beliau bertemu Nabi Khidir as bertemu pukul 03.00.

Ada sebuah peristiwa pada saat Gus Dur berkunjung ke pondok ploso Kediri, Gus Dur bertemu dengan Gus Miek yang merupakan seorang waliyullah yang mashur dan sangat di hormati di Jawa timur, Gus Miek mengatakan kepada para hadirin “INILAH PEMIMPIN DUNIA AKHIRAT”. Entah apa yang melatarbelakangi Gus Miek mengatakan demikian akan tetapi memang hal tersebut sengaja diucapkan Gus Miek.
Bahkan pada saat ziarah ke makam Tambak Gus Miek menawarkan kepada Gus Dur “GUS GIMANA KALAU ANDA WAFAT ANDA DIMAKAMKAN DI SINI SAJA SAMA SAYA”. Maksud dari Gus Miek tersebut dimakamkan di makam arba’in auliya’ (makam 40 wali Allah) yang berjarak kurang lebih km dari pondok Ploso Kediri yang sekarang juga menjadi makam almarhum Gus Miek dan sahabatnya KH Ahmad Shiddiq (Jember).

Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, dan pada dua muktamar berikutnya ia kembali terpilih sebagai ketua umum. Maka selama lima belas tahun (1984-1999) NU berada dalam kendali Gus Dur. Kejadian di tahun 1984 itu menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU. Dua pilar dalam tradisi itu adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan darah, dan hubungan patronase kiai-santri atau guru-murid.

Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah maupun ibu. Selain cucu KH Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia pun cucu KH Bisri Syansuri dari jalur ibu. KH Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang, adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur.

Dalam hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng merupakan ”kiblat”, khususnya semasa KH Hasyim Asy’ari. Banyak kiai besar yang belajar di Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada cucu kiainya. Karena itu, putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”.

Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin. Apalagi, ia juga memiliki kemampuan keilmuan yang dipandang sangat tinggi di antara para tokoh NU. Meskipun tidak dikenal sebagai spesialis dalam salah satu atau bebrapa cabang ilmu keislaman, ia sangat menguasai kitab kuning, juga kitab-kitab kontemporer yang disusun para ulama di masa belakangan. Selain mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai berbagai ilmu lain dengan wawasan yang sangat luas.

Di masa Gus Dur pamor NU terus menaik. Ia berhasil membawa NU menjadi kekuatan yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan, yang waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. Setelah sebelumnya kurang diperhitungkan, kecuali di saat-saat pemilu, NU kemudian berubah menjadi betul-betul dikenal dan dihormati banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika sebelumnya jarang dibicarakan orang, dalam waktu singkat NU berubah menjadi obyek studi dari banyak sarjana di mana-mana. Semua itu tak dapat dilepaskan dari peran Gus Dur, baik sebagai ketua umum PBNU maupun sebagai pribadi dalam berbagai kapasitasnya.

Ya, Gus Dur memang punya kharisma yang besar di mata para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela menuju dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus Dur, karena ia membawa pesantren dan NU ke dunia luar yang luas. Ia membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.

Sejak di bawah kepemimpinan Gus Dur, peran NU sebagai jam’iyyah maupun peran tokoh-tokohnya sebagai individu dari waktu ke waktu semakin kuat dan terus meluas, termasuk dalam politik. Meskipun secara resmi NU telah menyatakan diri kembali ke khiththah dan tidak lagi berpolitik praktis, pengaruh politiknya tak pernah surut, bahkan semakin menguat. Tokoh-tokoh NU yang terlibat di pentas politik, meskipun tidak mengatasnamakan NU, semakin banyak.

Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat mengandalkan dukungan warga NU.
Dinamika politik kemudian terus bergulir. Hanya berselang setahun tiga bulan setelah pendirian PKB, akhirnya pada bulan Oktober 1999 Gus Dur terpilih sebagai presiden RI yang keempat melalui pemilihan langsung yang dramatis di MPR. Itulah puncak karier NU di pentas politik.
Menurut Gus Dur ada lima macam Kiai (Ulama’ atau Ustad) Yaitu :

1- Kiai tandur yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad yang berjuang yang memiliki pondok pesantren, yayasan, lembaga, pendidikan, organisasi, majelis taklim termasuk juga Majlis dzikir dan Ilmu.
2- Kiai sembur yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad yang tidak punya pondok pesantren maupun majelis taklim, kiai sembur sendiri biasanya seorang tokoh atau panutan di masyarakat yang di hormati karena alim dan memiliki suri tauladan yang baik. Banyak di jadikan rujukan masyarakat  untuk  datang kepadanya.
3- Kiai wuwur  yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad  yang tidak mengerti  politik tapi terjun ke dunia politik, biasanya kiai seperti ini akan menjadi alat politik dan kekuasaan dan akan menjadi korban politik.
4- Kiai catur yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad  yang tahu politik
5- Dan Kiai nutur yaitu seorang Ulama, kyai atau Ustad  yang komersial dan matrealistis, doyan makan bantuan atau sumbangan dan kemana mana suka bawa proposal.

“Yang harus dijaga oleh NU adalah kiai tandur dan kyai sembur. Karena kedua kiai tersebut yang akan memelihara NU,” pesan Gus Dur.


Tetapi sekarang ini banyak sekali tokoh agama (kiai) yang terjun kedunia politik, apabila kiai ini terjun kedunia politik ini karena  memang sudah tahu dan paham ilmu politik, dan dia berjuang demi bangsa, rakyat dan agama, mari kita dukung. Tetapi apabila kiai ini berjuang demi mencari kekuasaan, kekayaan dan untuk kepentingan pribadinya sendiri, hukumnya wajib untuk anda tidak mendukungnya.

Sedangkan alasan Gus Dur merevisi Tap MPRS Nomor 25/1966 tentang pembubaran PKI yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, sebab dalam Islam tidak ada dosa warisan. 

“Gara-gara Tap MPRS itu seseorang yang belum tentu mengenal kakeknya harus menanggung kesalahan kakeknya. Dia tidak boleh menjadi PNS dan sebagainya”.

No comments:

Post a Comment