Keterangan bahwa Allah bersemayam di
atas Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu :
1. Surat Al-A'raf ayat : 54
2. Surat Yunus ayat : 3
3. Surat Ar-Ra'd Ayat : 2
4. Surat Thaha ayat : 5
5. Surat Al-Furqan ayat : 59
6. Surat As-Sajdah ayat : 4
7. Surat Al-Hadid ayat : 4.
Para Tabi'in
menafsirkan istiwa dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhari,
yang merupakan bantahan terhadap orang-orang yang menta`wilkan makna istiwa` dengan istilah istaula yang
artinya menguasai. (Syarh Al-'Aqiidah Al-Waasithiyyah,
Asy-Syaikh Al-Fauzan 73-75)
Hadist Nabi : Rasulullah mi'raj ke langit ketujuh
dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun 'alaih)
Rasulullah bersabda: "Kenapa kamu tidak mempercayaiku,
padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?" (Muttafaqun 'alaih)
Rasulullah bersabda: "Sayangilah orang-orang
yang ada di bumi maka Yang di langit (yaitu Allah) akan menyayangi
kalian." (HR. At-Tirmidzi)
Abu Bakr Ash-Shiddiq berkata:
"Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di atas langit, Ia hidup
dan tidak mati." (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd 'alal Jahmiyyah)
Abdullah Ibnul Mubarak pernah
ditanya: "Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?" Maka beliau
menjawab: "Tuhan kita di atas langit, di atas 'Arsy, berbeda dengan
makhluk-Nya." Maksudnya Dzat Allah berada di atas 'Arsy, berbeda dan
berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas 'Arsy tersebut tidak sama
dengan makhluk.
Al-Imam Abu Hanifah menulis
kitab kecil berjudul "Sesungguhnya Allah itu di atas 'Arsy." Beliau
menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya (Al-'Ilm wal Muta'allim)
==========TAMAT=============
Berikut Dibawah ini adalah penjelasan Habib Mundzir Bin
Fuad Al-Musawwa mengenai makna kalimat
diatas tentang arti “Bersemayam” yang sudah banyak di sebutkan dalam
Al-Quran maupun Hadist Nabi, dan semoga penjelasan berikut ini memberikan
gambaran penjelasan yang bermanfaat untuk anda, sehingga anda tidak tergelincir
didalam bertauhid dan tidak terjatuh kedalam faham mujjassimah (Memaknai
kalimat sesuai dengan arti bahasanya tetapi menyerupakan Allah dengan mahluk).
AYAT-AYAT TASYBIH
Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu
berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh
sebagian kelompok muslimin yang melenceng dari kebenaran dan makin banyak
muncul masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang
sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan,
seperti membahas bahwa Allah ada di langit, mempunyai tangan, wajah dll, yang
hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid Illahi pada benak muslimin, akan
tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita
perjelas mengenai ayat – ayat dan hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat
sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy,
dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU
TEMPAT”. Entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istiwa adalah
semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu
tempat, karena bertentangan dengan ayat – ayat dan nash hadits lain. Bila kita
mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?
Jika demikian berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti
makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan “Allah Swt turun kelangit
yang terendah saat sepertiga malam terakhir”, sebagaimana diriwayatkan dalam
Shahih Muslim hadits No.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan
bumi terus bergilir dan waktu sepertiga malam terakhir terus bergeser ke
belahan bumi lainnya.
Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak
sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat,
tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari bumi di langit yang
terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini dan menunjukkan rapuhnya
pemahaman mereka.
Jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy
telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di
langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu
mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits qudsiy mengatakan Allah di langit
yang terendah.
Berkata Hujjatul Islam Almuhaddits Al Imam Malik
rahimahullah ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu
’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa
su’al ’anhu bid’ah (tidak diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya
mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah),
dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”. Demikian ucapan Imam
Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang
jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits
Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii
ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi
kita bahwa hanya orang – orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah
ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh
mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS.
Al Fath : 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada
tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat.
Juga sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi
wali-Ku sungguh Ku-umumkan perang kepadanya, tiadalah hamba-Ku mendekat kepada-Ku
dengan hal – hal yang fardhu, dan Hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan hal
– hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka
Aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya
yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk
memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada-Ku
niscaya Ku-beri permintaannya ” (Shahih Bukhari hadits No.6137)
Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas – jelas menunjukkan bahwa pendengaran,
penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan
dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan
Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan
dan kakinya.
Masalah ayat atau hadist tasybih (bermakna saru) dalam ilmu tauhid terdapat dua
pendapat dalam menafsirkannya.
1. Pendapat Tafwidh Ma’a tanzih
2. Pendapat Ta’wil
MADZHAB TAFWIDH MA’A TANZIH
Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan
menyerahkan maknanya kepada Allah swt, dengan I’tiqad Tanzih (mensucikan
Allah dari segala penyerupaan), sebagaimana ucapan Imam Malik diatas, ia tak
mau menfsirkannya.
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu
biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal
itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab
inilah yang juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh
tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para Imam yang memegang
madzhab tafwidh ma'attanzih
MADZHAB TAKWIL
Madzhab Takwil : yaitu menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai
dengan ke-Esaan dan Keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih
baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam
(khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii,
Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Alqur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh
para sahabat, tabiin dan imam - imam ahlussunnah waljamaah.
Seperti ayat : ”Nasuullaha fanasiahum” mereka melupakan Allah maka Allah
pun lupa dengan mereka, (QS. At-taubah : 67), dan ayat : ”Innaa
nasiinaakum” sungguh kami telah lupa pada kalian, (QS. Assajdah : 14).
Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun
tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa,
tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan
tiadalah Tuhanmu itu lupa” (QS. Maryam : 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai
Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk-Ku, maka berkatalah keturunan
Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau Rabbul
’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba-Ku fulan sakit dan kau
tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui
Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits No.2569)
Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya
kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah
Nawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah
hamba-Nya, dan kemuliaan serta kedekatan-Nya pada hamba-Nya itu. "dan
makna : wajadtaniy indahu ya’niy (kau akan temui Aku disisinya) wajadta
tsawaabii wa karoomatii indahu” (akan kau temui aku disisinya adalah akan
kau temui pahalaku dan kedermawanan-Ku) dengan menjenguknya (Syarh Nawawi
ala Shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang
berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti : Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari,
Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat
Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah
swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan-Mu Tuhan Yang Maha Memiliki
Kemegahan dari apa – apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi
para Rasul, dan segala puji atas Tuhan sekalian alam” . (QS. Asshaffat :
180-182). Walillahittaufiq
Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga
sukses dengan segala cita cita. Wallahu a'lam bishawab
No comments:
Post a Comment