29 March 2014

Kisah Nyata Dari Seseorang Yang Tidak Mempercayai Adanya Tuhan


Tiba-tiba ada seorang anak kecil berlari-lari mendatangi  gurunya yaitu Syaikh Habban, si anak kecil itu ingin menyampaikan dan menanyakan tentang arti dari mimpinya itu semalam. Di lihatnya sang guru sedang termenung yang agaknya sedang menghadapi masalah yang cukup besar dan berat. Tergambar jelas pada kerut wajah sang guru dengan pandangan menerawang jauh kedepan. Tanpa menoleh ke arah si murid, sang guru bertanya : “Ada perlu apa kau, hai anakku?”

“Saya ingin menceritakan mimpi saya tadi malam, wahai sang guru”, ujar hanafi kecil.
Sang guru memandang  tajam ke arah si murid seraya berkata : “Terangkan apa mimpimu itu”.

Si muridpun menceritakan mimpinya : “Dalam mimpi, saya melihat seekor babi hendak menumbangkan pohon besar dengan mengorek-orek, membongkar tanah dan akar pohon itu, tiba-tiba datang seekor ular kecil lalu mematuk dan melilit babi besar tersebut, ahirnya babi besar itupun mati”.

Lalu Syaikh Habban menjelaskan makna mimpi itu : ”Hai anakku !, Inilah yang ku renungkan saat ini. Aku menerima surat dari raja, memerintahkan aku segera datang ke kota, karena di kota sekarang di timpa musibah besar dengan datangnya seorang DAHRI (Atheis) yang anti Tuhan. Si Dahri telah banyak menantang para ulama untuk berdebat dan mengadu hujjah, tentang ada atau tidak adanya Tuhan, si Dahri meyakini dan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Menurut surat raja tersebut beberapa ulama telah kalah dalam menghadapi perdebatan dan berhujjah. Sehubungan dengan mimpimu itu anakku artinya bahwa yang di maksud pohon besar itu ialah aku sendiri, babi yang hendak merobohkan pohon itu adalah si dahri, sedangkan ular kecil itu adalah engkau sendiri, hai anakku. Sekarang engkau kuperintahkan datang ke kota untuk menghadap sang raja dengan atas namaku untuk melakukan perdebatan dengan si Dahri. Dan Allah akan senantiasa menyertaimu hai anakku”.

Hanafi kecil segera pergi untuk menghadap sang raja dengan membawa surat balasan dari sang guru, sang raja agak heran dan bingung memperhatikan si anak kecil yang ada di hadapanya yang masih ingusan dan baru berumur belasan tahun itu, kok dia ini berani menghadapi si Dahri. Padahal sudah banyak beberapa ulama yang  terkenal dengan kealimanya kalah dalam perdabatan dan berhujjah melawan si dahri.

Tetapi sang raja mengerti tentang kebesaran Syaikh Habban yang tergolong ulama yang “Khawasul khawas” (teristimewa). Dan rajapun menetapkan hari dan tanggal perdebatan itu akan di langsungkan.

Sampailah pada waktu yang telah di tentukan, persidanganpun segera di buka, yang di hadiri oleh orang banyak dan sengaja di lakukan secara terbuka. Tapi tiba-tiba si Dahri marah-marah dan mengajukan protes kepada raja karena lawan debatnya adalah seorang  anak kecil.

-- Tuanku raja, saya keberatan melakukan perdebatan dengan seorang anak kecil.
Mendengar protes si dahri , si Hanafi kecil mengacungkan tangan dan bersuara dengan sangat lantang :

++Tuanku raja yang mulia, saya juga amat keberatan  untuk melakukan debat dengan “orang yang tidak punya akal” seperti si dahri ini !

Si dahri mencak-mencak di hadapan raja karena merasa sangat terhina dengan ucapan lawan debatnya, seraya ia berkata :

--Tuanku raja, saya telah di hina di depan umum. Saya meminta tuanku raja menangkap anak kecil ini atau gurunya yang telah memberikan kuasa kepadanya supaya segera di seret ke muka pengadilan karena penghinaan itu.

Raja menjawab : Baiklah, gugatan anda saya terima. Selesai perdebatan ini, perkara penghinaan ini akan segera saya sidangkan.

Hanafi kecil mengajukan bantahan :

++Tuanku raja, ini adalah awal perdebatan , bukan suatu penghinaan.

Rajapun heran dengan ucapan si anak kecil itu, dengan  mengajukan pertanyaan : Hai si kecil, apa alasanmu bahwa ucapanmu itu bukan suatu penghinaan?

Si Hanafi kecil berdiri sambil menudingkan tanganya, kepada si Dahri :

++Hai Dahri !, kalau anda keberatan  saya katakan tidak berakal, coba tuan buktikan di depan saya dan di persidangan terbuka ini, “Mana dia akal tuan itu?”, apa bentuknya?, dan apa pula warnanya?, Silahkan tuan buktikan. Agar kami semua disini bisa melihatnya.

Mendengar pertanyaan itu, si Dahri sangat marah, merah padam mukanya seraya menjawab dengan suara sangat keras :

--Hai anak kecil ingusan !, itu pertanyaan orang gila dan tolol, tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat menunjukkan bentuk, rupa dan warna akalnya. Itu pertanyaan yang sangat goblok, hai anak kecil !

Dengan tersenyum si Hanafi kecil berdiri lagi :

++Hai Dahri, jawaban anda itu lebih goblok dan lebih tolol dari pertanyaan saya. Kenapa anda hendak minta buktikan bentuk dan rupa Tuhan?, Sedang akal anda sendiri tidak bisa anda buktikan bentuk dan rupanya?

Si Dahri diam seribu bahasa, dia merasa terjebak oleh ucapanya sendiri.

Rajapun merasa terpukau dengan perdebatan singkat itu, lalu raja mengumumkan bahwa Hanafi kecil  tampil sebagai pemenang dalam tahap pertama dan akan dilanjutkan pada tahap  berikutnya.
“Satu-Nol”, untuk kemenangan Hanafi kecil.

Raja mengumumkan bahwa untuk tahap kedua, si Dahri dipersilahkan untuk berbicara terlebih dahulu, Dahri pun berdiri dari kursinya.

--Hai anak kecil !, saya akui kalah pada tahap pertama. Sekarang coba jawab pertanyaan saya : Kalau Tuhan itu benar ada, apa pekerjaan Tuhan itu sekarang ?

Hanafi kecil pun segera berdiri seakan akan tidak menghiraukan pertanyaan si Dahri, dia mendatangi raja lalu menghormat.

++Tuanku raja yang mulia !, Saya telah menangkan 1-0 dalam perdebatan pertama, seyogyanya  sayalah yang menduduki kursi keemasan yang sedang  di duduki si Dahri, dan si Dahri duduk di bawah kursi saya ini. Saya minta keadilan tuanku raja.

Sang raja menyadari, bahwa sesuai dengan ketentuan yang telah raja tetapkan bahwasanya bagi siapa saja yang menang dalam perdebatan berhak duduk di kursi keemasan di samping sang raja. Dan yang kalah harus turun dan duduk di bawah, maka sanga raja memerintahkan si Dahri turun dan Hanafi kecil naik dan duduk di samping sang raja.

Pada saat pertukaran tempat itu, para hadirin bersorak sorai menyatakan kegembiraanya. Si Hanafi kecil langsung menjawab pertanyaan si Dahri :

++Hai Dahri !, Tuhan itu pasti adaNya, pekerjaan Tuhan sekarang adalah benar-benar nyata. Allah telah turunkan anda dari kursi ini, dan Allah menaikkan serta mendudukkan saya di kursi ini.

Si Dahri sangat keberatan dengan jawaban itu :

--Yang menurunkan saya dan menaikkan kamu bukanlah Tuhan !, Tetapi atas perintah raja.

Dengan tenang dan penuh hormat, si Hanafi kecil mengajukan pertanyaan kepada sang raja :

++Tuanku Raja yang mulia, siapakah sebenar-benarnya (Hakikat) yang telah menggerakkan hati dan lidah tuanku untuk mengeluarkan perintah itu?

Mendengar pertanyaan itu, sang Raja menjawab dengan tegas dan penuh wibawa : Bahwasanya yang telah menggerakkan hati dan lidahku untuk mengeluarkan perintah itu adalah Allah swt.

Setelah mendengar jawaban Raja, si Dahri terhenyak di tempat duduknya dan pucat pasi wajahnya. Sesuai dengan keputusan Raja sebelumnya, siapa yang kalah dalam perdebatan akan di masukkan kedalam penjara.

Di hadapan para hadirin Raja mengeluarkan pengumuman :

1. Hanafi kecil mendapat kuasa dari gurunya Syaikh Habban, dan dinyatakan keluar sebagai pemenang       dalam perdebatan melawan si Dahri yang anti Tuhan.
2. Raja memerintahkan kepada prajuritnya untuk menjebloskan si Dahri kedalam penjara sesuai ketentuan.
3. Sedang mengenai gugatan si Dahri terhadap si Hanafi kecil mengenai kasus “penghinaan di depan umum” di nyatakan tidak sah alias gugur dengan sendirinya, karena si Dahri juga telah mengeluarkan kata-kata penghinaan “goblok, gila dan tolol” terhadap tergugat.

Ini adalah kisah dari Imam Hanafi pada usia beliau yang masih berumur belasan tahun, ini adalah kisah yang sebenarnya, meskipun disana sini di tambah beberapa variasi cerita tanpa menghilangkan makna, kesan dan isi kisah.

Hikmah yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah bahwa Allah itu maha nyata, tiada satu dan sesuatupun juga dapat mendindingi atau menutupiNya. Dan disini antara Hanafi kecil dengan sang Raja mempunyai pendirian bahwa “ Allah Subhanahu wata ‘ala yang menaikkan si Hanafi duduk di kursi keemasan itu, dan Allah jualah yang telah menggerakkan hati dan lidah sang Raja untuk mengeluarkan perintah”. Wallahu ‘alam bishawab.

No comments:

Post a Comment